Oleh : Resha T. Novia
Suara tangisan bayi 
memenuhi sebuah kontrakan dengan ruangan kecil yang hanya berukuran 5 x 6
 meter persegi. Aku hanya bisa berdiam diri dan menutup telinga di 
sebuah sudut, tanpa mau berbuat apa-apa. Aku seolah menaruh dendam dan 
kebencian pada bayi kecil itu, yang kuberi nama Devina. Aku memang 
salah, tidak seharusnya aku membenci Devina, bayi yang kulahirkan dari 
rahimku. Ya, karena seharusnya aku hanya membenci Andre, ayah dari bayi 
itu yang telah membuatku hamil dan melahirkan Devina. Andre pulalah yang
 membuatku pergi dari rumah dan meninggalkan keluargaku.
Kini,
 sudah satu tahun aku meninggalkan rumah. Awalnya aku hidup bersama 
Andre. Begitu bahagianya saat itu, karena aku bisa merasakan kebebasan. 
Ya, kebebasan yang benar-benar bebas. Tapi kebahagiaan itu berubah 
seketika saat Andre tahu bahwa aku hamil olehnya, ia tak mau 
bertanggunga jawab pada janin yang ada dalam rahimku. Bahkan ia tak mau 
mengakuinya, malah menuduhku selingkuh dan tidur dengan laki-laki lain. 
Jika aku tahu akhitnya akan seperti ini, aku tak akan mau meninggalkan 
rumah dan menentang perjodohan yang telah orang tuaku rencanakan.
Cinta
 itu buta, mungkin itulah yang kurasakan pada Andre. Tak berpikir dengan
 akal sehat, bahwa orang tuaku telah memilihkan jodoh yang terbaik 
untukku.
“Aku gak mau dijodohin, Mah, Pah… Aku mencintai 
Andre…” Bantahku satu tahun yang lalu setelah tahu bahwa aku telah 
dijodohkan dengan Fariz, anak rekan bisnis Papah.
“Latar belakang Andre itu gak jelas, dia juga terlalu urakan untuk menjadi seorang suami.” Pekik Papah.
Tak
 ada yang membelaku saat itu, aku hanya bisa meneteskan air mata. Dan 
masih di hari itu, malamnya pun aku memutuskan untuk kabur dari rumah, 
Andrelah yang menjemputku saat itu. Bahkan ia pula yang memaksaku kabur 
dari rumah.
“Inikah yang disebut penyesalah?” Bathinku 
bergejolak. Sementara tangis Devina semakin keras, membuatku ingat pada 
kebencianku terhadap Andre.
Andai saja saat itu aku tak 
pernah kabur dari rumah, andai saja aku mau menerima perjodohan itu. 
Hidupku kini mungkin tak akan seperti ini, tenggelam dalam penderitaan 
yang aku tak tahu kapan berakhirnya. Ahhhhh….semuanya sudah terlambat!!!
Pikiranku
 semakin kalut, tak ingin lagi ku mendengar suara tangisan Devina yang 
tak juga berhenti. Kakiku pun mulai kulangkahkan keluar dari ruang kecil
 itu yang ku kontrak selama ini. Aku meninggalkan Devina di sana.
Jauh,
 jauh, dan semakin jauhlah suara tangisan Devina, hingga tak lagi ku 
dengar. Dan kini, hanyalah suara lalu-lalang kendaraan yang memenuhi 
pendengaranku. Aku berjalan lurus mengikuti asa dalam pikiran buntuku, 
tanpa menghiraukan semua suara yang memanggil-manggilku. Dan “Brukkkk….”
 Semuanya pun berubah menjadi hitam, hanya suara orang-orang yang 
kudengar, disusul dengan suara ambulans yang suaranya seakan makin menjauh. Tak ada lagi yang kudengar, tak ada lagi yang kurasakan. Hingga akhirnya, semua menghilang…
_selesai_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar