Oleh : Resha T. Novia
Selain
itu, Cantik juga ngerasa kalau nggak pernah ada yang mau temenan sama dia.
Bahkan nggak ada satu cowokpun yang mau deket sama dia. Semua orang sama, hanya
menilai seseorng dari fisiknya saja.
“Aku
pengen punya pacar, tapi semua cowok nggak ada yang mau, semuanya ngehindar.
Padahal dari dulu, aku pengen banget punya pacar, di saat usiaku 17 tahun.
Semua itu hanya mimpi, sampai usiaku 18 tahun pun aku belum juga punya pacar.”
Ucap Cantik di dalam hatinya. Ia tersenyum, namun senyumnya begitu penuh dengan
luka.
Cantik
kembali diam, ia selalu berhayal bahwa suatu saat nanti ia bisa menjadi cantik.
Meski hayalannya itu tak mungkin berubah menjadi nyata.
“Apa
yang harus aku lakuin, biar aku bisa jadi cantik?” Tanyanya dalam hati.
Tiba-tiba
terlintas sebuah ide agar ia bisa menjadi cantik. Ia langsung bergegas dan
meninggalkan rumah. Ia pergi ke sebuah salon. Ia berharap agar ia bisa lebih
baik.
Sesampainya
di depan salon, langkah Cantik terhenti. Saat ia melihat teman-temannya.
“Wah,
ada yang pengen jadi cantik tuh, tapi kayaknya salah alamat deh. Harusnya dia
pergi ke dokter, buat di operasi plastik.” Sindir teman-temannya. Mereka
tertawa bahagia di atas penderitaan orang lain.
Mata
Cantik mulai berkaca-kaca, tapi teman-temannya tak berhenti menjadikan Cantik
sebagai bahan tertawaan mereka. Sampai akhirnya Cantik menangis dan ia langsung
meninggalkan tempat itu.
Cantik
terus berlari, mungkin semua mata tertuju padanya. Tapi nggak satupun yang
peduli. Mereka hanya tersenyum melihat penderitaan Cantik. Semua orang sama,
mereka hanya bisa mencemooh orang, tanpa memikirkan perasaan orang itu. Mereka
semua tak mempunyai perasaan.
<< R >>
Semenjak
kejadian itu, Cantik tak pernah mau keluar rumah. Ia hanya mengurung diri di dalam
kamar. Hingga orang tuanya sangat menghawatirkan keadaan anaknya itu.
Setiap
hari, orang tua Cantik selalu membujuk Cantik agar mau kembali seperti
hari-hari biasanya. Masuk kuliah dan menjalani aktivitas yang biasa ia lakukan.
“Kamu
jangan seperti ini terus, sayang…” Kata Ibunya.
Cantik
tak menanggapi sama sekali, ia tetap diam. Karena ia hanya memikirkan bagaimana
sikap yang tepat untuk menghadapi teman-temannya, saat ia kembali kuliah nanti.
Ia benar-benar stress dengan apa yang
ia hadapi.
Keesokan
harinya, Cantik mulai mau kembali kuliah setelah satu minggu tak keluar dari
rumah. Ia berharap udara pagi yang segar akan mengawali harinya dengan baik.
“Wah,
ternyata masih jelek, kirain kemarin-kemarin nggak masuk gara-gara operasi
plastik.” Ucap salah satu teman sekelasnya. Dan seisi kelas langsung
menertawakan Cantik.
“Operasinya
gagal kali.” Celetuk yang lain.

“Kamu
mau bunuh diri?” Tanya seorang cowok yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang
Cantik. “Apa kamu nggak sayang sama orang tua kamu dan orang-orang sekeliling
kamu yang menyayangi kamu?” Lanjutnya.
Cantik
menangis. Ia sangat menyayangi kedua orang tuanya dan orang-orang yang ada di
sekelilingnya, tapi ia merasa tak ada gunanya lagi untuk hidup. Karena hidupnya
selalu menderita. Ia benar-benar ingin mengakhiri hidupnya.
“Bunuh
diri itu bukan solusi akhir, tapi malah nambah masalah baru.” Ucap cowok itu
lagi.
Cantik
terus menangis, ia tak tahu harus berbuat apa. Sedangkan cowok itu terus memberikan
masukan dan menyadarkan Cantik agar tidak melakukan perbuatan yang bodoh lagi.
Perbuatan yang akan merugikan dirinya sendiri. Dan akhirnya Cantik bisa sadar.
Ia mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hidupnya. Ia sangat berterima kasih
pada cowok itu, cowok yang telah menyadarkannya.
<< R >>
Cantik
mulai tegar dalam menjalani kehidupan, meski terkadang ia tak bisa menerima
semua hinaan teman-temannya. Untung saja setiap Cantik merasa putus asa, cowok
yang waktu itu selalu datang dan menyemangati hidup Cantik. Oia, nama cowok itu
Juna. Entah siapa dia sebenarnya, karena Cantik tak pernah tahu asal-usul cowok
itu. Kini Juna bagaikan malaikat penolong dalam hidup Cantik.
“Kehidupan
itu nggak selamanya indah, dan nggak selamanya juga menderita. Karena kehidupan
itu bagai roda yang terus berputar, kadang di bawah dan kadang di atas.” Kata
Juna, saat Cantik mulai putus asa lagi.
“Iya
sih.” Ucap Cantik. “Aku kagum banget sama kamu, kamu bisa ngerti dengan keadaan
hidup. Kayaknya hanya kamu orang yang nggak pernah ngeluh sama keadaan.”
Lanjutnya.
Juna
tersenyum. “Dulu, aku juga kayak kamu, nggak pernah bisa nerima keadaan.
Masalahnya mungkin hanya sepele, aku selalu jadi nomor dua di manapun. Tapi
kedua orang tua angkat aku menginginkan aku menjadi yang nomor satu. Hingga
akhirnya aku nggak pernah di kasih waktu untuk menikmati keindahan dunia luar.
Aku hanya boleh belajar dan belajar. Dan setiap aku menjuarai sesuatu, aku
selalu di siksa oleh kedua orang tua angkatku, karena aku hanya mendapat juara
ke dua.” Juna menceritakan masa lalunya. “Mungkin hanya kamu yang tahu cerita
aku ini.” Lanjutnya.
“Kamu
tinggal sama orang tua angkat?” Tanya Cantik.
Juna
mengangguk. “Waktu kecil, aku tinggal di panti asuhan. Aku kira punya orang tua
itu menyenangkan, hingga suatu ketika ada sepasang suami istri yang mengadopsi
aku. Awalnya mereka baik banget, tapi ternyata, aku hanya di jadiin sebagai property yang di pamerin ke semua orang
kalo aku bisa ngebuat nama mereka baik di hadapan orang lain. Selebihnya, aku
hanya bahan pelampiasan emosi mereka.” Jawabnya.
Cantik
sadar, ternyata masih banyak orang yang lebih menderita dari dirinya. Dan
Cantik kini benar-benar bisa menerima semua keadaan. Ia pun tak bingung lagi untuk
menghadapi teman-temannya. Kini ia menjadi sosok yang sabar dan cuek. Hinaan
teman-temannya nggak pernah ia masukin ke dalam hati lagi.
“Thanks ya, semua ini karena kamu.” Ucap
Cantik.
Juna
tersenyum. “Kamu harus bersyukur, karena orang tua kamu ngasih nama Cantik. Dan
asal kamu tahu, kecantikan itu tak hanya dari fisik, tapi kecantikan yang
sebenarnya itu datang dari dalam.” Kata Juna. “Dan itu yang ada di diri kamu.”
Lanjutnya.
Cantik
tersenyum.
Udahan aja ah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar