Senin, 19 Desember 2011

Benci Keadaan

Oleh : Resha T. Novia


Bosan !!!
Kurasa di sini, tanpa rasa !
Kurasa di sini, hiasan semata !

Benci !!!
Saat kusadari semua ini,
menghempas sunyi dalam batin yang sepi,
teriris pilu yang menyayat perih,
terlambat kusadari semua begini...

Hmmm...
Namun semua telah terjadi,
dan kubenci keadaan seperti ini...







*Dalam renungan malam di hari sabtu tanggal 3 Desember 2011, saat benci pada keadaan...

Sendiri di Malam Sunyi

Oleh : Resha T. Novia


Aku di sini tanpa kata,
membayang sepi dalam hening malam,
menghapus rindu yang tak mungkin terbalas,
untuk hati yang pilu karena dirimu...

Malam kan semakin menghalang,
saat kusadari memang semua hanya kepalsuan,
yang terjadi karena keadaan,
semakin sulit tuk terhapuskan,
dari sejarah yang terukir tak cukup lama,
namun terkesan,
meski sakit...

Dan lagi malam tak bersua,
dalam renungan sang rembulan,
menemaniku dalam kesendirian,
setiap malam,
sampai mata terpejam...





*ya beginilah tiap malam,,,, jhahahahahaha

Sabtu, 26 November 2011

Cinta Kau Bawa Pergi

Oleh : Resha T. Novia

          Aku jatuh cinta. Cinta ini bukanlah cinta biasa Karena aku jatuh cinta pada hantu. Ya, dia benar-benar hantu. Kalian pasti merasa aneh dan bertanya-tanya. “Mana mungkin?” Pasti itu yang pertama kalian ucapkan. Namun, ini sungguh nyata.

Aku bertemu dengannya sekitar tiga bulan yang lalu. Saat itu, aku melihat sebuah kecelakaan maut terjadi di ruas jalan raya Setia Budi. Kecelakaan itu merenggut beberapa korban. Yang kutahu, kecelakaan itu diakibatkan sang sopir bus berusaha menghindari sebuah mobil yang hampir saja ditabraknya. Namun naas, bus itu malah masuk jurang. Sedangkan penumpangnya adalah rombongan mahasiswa yang baru saja selesai melaksanakan study banding dengan universitas di luar kota.
Saat itu, aku tak hanya melihat kejadian naas itu. Dengan upayaku, aku berusaha membantu para polisi untuk mengevakuasi para korban. Karena, jumlah polisi saat itu sedikit. Ya, karena kebanyakan polisi sedang bertugas menjaga istana Presiden yang sedang kedatangan tamu penting.
Setelah aku selesai menolong para polisi untuk mengevakuasi korban kecelakaan itu, aku pun bergegas pulang, tanpa tahu berapa jumlah korban yang selamat dan yang tidak selamat. Oia, mungkin saat itu, penampilanku berubah menjadi seperti seorang pembunuh yang baru saja memutilasi korbanya. Bagaimana tidak, baju kemeja putihku, kini terkena bercak-bercak darah dari para korban. Aku pun segera membersihkan tubuhku dan juga baju kemeja yang kupakai.
+++
“Tok tok tok tok…” Suara ketukan pintu dari luar kamar kos ku.
Mataku mengarah ke arah jam dinding, jam setengah satu malam. Aku tak tahu siapa yang datang selarut ini, namun yang jelas, aku pasti akan membukakan pintu kamar kos ku itu. Terkadang karena kelakuanku yang ini, teman-temanku mengkhawatirkanku. “Kamu tuh terlalu baik, San. Gimana kalo yang kamu bukain itu bukan aku, maling misalnya atau setan?” Agus bahkan pernah melontarkan kata-kata seperti itu untukku. Tapi aku tak pernah tega jika harus membiarkan orang di luar sana menunggu. Maling dan setan kan tidak mungkin mengetuk pintu dulu.
Aku mulai membukakan pintu kamar kos ku. Tanpa melihat dari jendela siapa yang datang.
Sungguh terkejut saat kubuka pintu itu. Sesosok gadis cantik berdiri tepat di hadapanku. Namun, gadis itu nampak terlihat pucat.
“Kamu cari siapa ya?” Tanyaku pada gadis itu.
Gadis itu hanya melempar senyuman kecil yang begitu manis. Yang tak akan pernah kulupakan sampai kapanpun. Namun setelah gadis itu melemparkan senyum padaku, tiba-tiba saja ia jatuh pingsan. Dengan perasaan panik, aku segera menolongnya, ku angkat tubuhnya dengan sekuat tenaga, dan kubawa masuk ke dalam kamar kos ku. Kubaringkan ia di atas kasur lepek dan dekil yang entah sudah berumur berapa, yang kubawa dari kampung.
Tubuh gadis itu terasa sangat dingin saat kuangkat, mungkin dia sedang kedinginan. Pikirku. Kuselimuti saja tubuhnya dengan selimut paling tebal yang aku punya.
Sementara aku, membuatkan teh manis hangat untuk gadis itu minum jika sadar nanti.
Aku duduk di atas kursi meja belajarku seraya memandangi gadis itu. Menunggu gadis itu sadar dan segera kuantarkan ke rumahnya, agar orang tuanya tak khawatir. Namun, berjam-jam gadis itu tak sadar-sadar. Hingga aku pun ketiduran di atas meja belajar yang sebenarnya terlalu sesak karena banyak buku yang menunpuk.
+++
Matahari sudah terbit menyinari jendela kamarku hingga tembus ke dalam kamarku. Aku segera bangun, karena sorot matahari itu tepat ke arahku.
Saat ku bangun, mataku langsung tertuju pada kasur lepek dan dekil ku itu. Namun, tak kudapati gadis yang semalam kutolong. Bahkan kasur itu kini sudah tertata dengan rapi, meski tetap lepek dan dekil.
Aku segera melihat ke kamar mandi, namun gadis itu tetap tak ada. Kucari keluar sekamir kamar kos, namun tetap tak ada pula. Aku heran. Namun kubiarkan saja seakan tak terjadi apa-apa. Lagi pula aku harus berangkat ke kampus karena hampir telat.
+++
Setelah malam itu, aku selalu membayangkan gadis yang datang ke kosanku. Aku masih penasaran kenapa dia datang tiba-tiba dan pergipun secara tiba-tiba.
Hingga beberapa hari kemudian, di suatu malam yang cukup sunyi. Aku bertemu dengannya di perempatan jalan menuju tempat kos ku. Aku tak tahu sedang apa dia berdiri sendiri di sana. Padahal malam semakin larut, dan tak baik jika seorang gadis berdiri sendiri di tempat sepi. Hhmm… perhatianku ini bukan karena aku mulai menaruh hati pada gadis itu, tapi karena aku juga mempunyai adik perempuan di kampung sana. Saat itu kan aku belum menyukainya.
Kuhampiri gadis itu. Semakin dekat, wajah cantiknya semakin terlihat pucat.
“Hey!” Sapaku pada gadis itu.
Awalnya aku tak berani menyapanya, oh tidak, lebih tepatnya, aku malu untuk menyapanya. Tapi rasa penasaranku ini, membuat rasa maluku tertutupi.
Gadis itu menatapku. Sungguh saat itu aku sangat terkagum-kagum akan kecantikannya. Tapi aku terus berusaha menyembunyikan rasa kagumku pada kecantikan gadis itu. Setidaknya agar aku tak disebut kampungan. Ya, kampungan karena seperti orang yang baru pertama kali melihat gadis cantik.
“Kamu lagi ngapain?” Tanyaku, lebih memberanikan diri.
Kulihat gadis itu tersenyum manis padaku. Sungguh, senyumnya begitu manis. Ia bagai bidadari yang baru turun dari surga.
“Gak baik loh cewek diem sendirian di pinggir jalan gini, apalagi ini udah malem. Mendingan pulang ke rumah aja.” Lanjutku sok akrab. Tak peduli akan anggapan cewek itu. Yang pasti aku memang mengkhawatirkannya yang hanya sendiri di malam sesepi ini.
“Kamu, yang semalam nolong aku kan?” Tanya gadis itu.
Aku mengangguk malu. Tak kusangka ia masih mengenaliku, walau ia hanya sepintas melihatku sebelum ia tak sadarkan diri karena pingsan.
“Makasih ya…” Ucap gadis itu, begitu lembut seraya melemparkan senyum tipis.
Aku kembali mengangguk.
“Aku Raya…” Ucapa gadis itu kemudian, seraya menyodorkan tangan kanannya padaku.
“Sandi…” Balasku, seraya membalas jabat tangan perkenalan itu.
Suasana kembali terasa hening, hanya angin malam yang bicara tentang sebuah cerita yang kan dimulai.
+++
Malam itu pun menjadi awal pertemanan kami. Ya, antara aku dan gadis cantik yang kuketahui bernama Raya.
Dari hari ke hari, kami sering membuat janji dimana aku dan Raya pergi bersama. Kami memang banyak kesamaan. Kami suka tempat-tempat yang berbau dengan alam. Kalau tidak, kami lebih suka pergi ke sebuah toko buku yang jaraknya tak begitu jauh dari tempat kos ku. Atau pergi ke toko DVD, mencari film-film seru dan kami menontonnya di tempat kos ku.
Hari-hari yang indah bagiku, karena aku seakan mendapat seorang teman yang benar-benar cocok.
“Ih, jangan  nonton film hantu dong, aku gak suka…” Protes Raya saat aku dan dia memilih-milih DVD yang akan kami tonton.
“Tapi ini kayaknya seru, lagian kayaknya gak begitu serem kok.” Aku berusaha meyakinkan Raya agar mau menonton film hantu.
Raya tak bicara, ia hanya menggelengkan  kepala dengan ekspresi ketidaksukaannya. Ia cemberut.
“Iya deh, kita nonton film ini aja.” Ucapku seraya menunjuk salah satu film yang ingin Raya tonton. Ya, aku mengalah. Aku memang mulai luluh pada Raya.
Setelah selesai memilih DVD, aku dan Raya kembali ke tempat kos ku. Kemudian setelah sampai di tempat kos ku, aku menyiapkan beberapa makanan ringan yang akan kami makan sambil nonton film yang sudah kami beli.
Dan semua yang kulewati bersama Raya, sangatlah berkesan untukku.
+++
“Hari ini aku pengen banget pergi ke Anyer. Kamu mau kan temenin aku?” Kata Raya, agak membujukku.
Dan lagi-lagi, aku tak bisa menolaknya. Seakan kata “TIDAK” sudah hilang dari kamus hidupku setelah mengenal Raya.
Aku mengangguk.
Raya tersenyum bahagia, dan tiba-tiba ia mencium pipi kiriku. Saat itu hatiku seakan melayang entah kemana. Rasanya semua seperti mimpi. Namun, aku tak bermimpi. Mungkin menurut kalian aku ini berlebihan alias lebay. Tapi inilah yang aku rasakan. Ya, karena ini adalah pengalaman pertamaku begitu dekat dengan seorang perempuan, dan bahkan sampai dicium. Hmm… karena sebelumnya, aku hanyalah seorang cowok yang kaku, oleh sebab itu tak banyak perempuan yang enggan mendekatiku.
Back to story. Hari itupun aku dan Raya pergi ke Anyer. Raya terlihat begitu senang, bahkan ia menarikku dengan penuh semangat agar menemaninya bermain pasir pantai. Selain itu, kami juga mengabadikan kebersamaan kami dalam handphoneku.
Thank you ya, kamu udah mau nemenin aku ke tempat yang mau aku datengin.” Ucap Raya padaku saat dalam bus perjalanan pulang.
Tak lama, Raya pun mulai tertidur dalam bus. Dan aku memberanikan memegang kepalanya untuk menyandarkannya ke atas bahuku. Aku merasa sangat damai saat itu.
Tak sampai dua jam, kami sudah sampai di kota kami. Saat itu sudah sangat larut, dan aku berniat untuk mengantarkan Raya pulang hingga rumahnya. Namun aneh, Raya menolaknya.
“Nggak usah dianter San, aku bisa kok pulang sendiri. Lagian rumahku nggak begitu jauh dari sini.” Ucap Raya, tetap tak mau diantar pulang olehku.
Meski aku khawatir, akhirnya dengan terpaksa aku membiarkan Raya pulang sendiri atas kemauannya. Aku tak mau memaksakan kehendak yang aku mau, karena aku takut jika Raya mulai tak nyaman dengan sikapku.
+++
Bagiku, waktu seakan cepat bergulir setiap aku melewatinya bersama Raya. Entah kenapa, hari-hariku semakin terasa berwarna. Aku benar-benar bahagia. Dan aku mulai yakin dengan perasaan yang tumbuh perlahan di dalam hatiku. Ya, aku mulai mencintai Raya, dan rasa cinta itu semakin hari semakin bertambah hingga aku sendiri pun tak bisa mendeskripsikan rasa cintaku ini.
Aku memang seperti orang bodoh yang mencintai seseorang tanpa tahu siapa dia. Tanpa tahu asal usul dia, dan tanpa tahu semua yang ia juga rasakan padaku. Tetapi aku memang benar-benar mencintai dia dengan setulus hati, tanpa meminta imbalan apapun atas rasaku ini. Biarkan semua apa adanya. Mengalir sepertia air, meski banyak liku namun tetap diterjang tuk mencapai hilir.
“Nggak tahu kenapa, aku kok ngerasa nyaman ya kalo lagi sama kamu?” Ucap Raya, tiba-tiba. Saat kami berada di sebuah taman kota di ujung sore.
“Kamu suka kali sama aku.” Celetukku, bercanda tapi serius. Aku ingin tahu bagaimana ekspresinya.
Raya tersenyum geli. Mungkin ia sudah bisa mendengar celetukkanku yang kadang apa adanya, kadang kelewatan, kadang super narsis, kadang cuek, kadang gokil, dan kadang bikin Raya malu.
“Iya kali ya…” Balas Raya seraya melepas tawa.
“Ah, kamu kok malah ketawa sih, aku kan gak ngelucu.” Ujarku.
“Abisnya, kamu sihhh…” Ucap Raya seraya berusaha menahan tawanya itu.
“Mmm… Raya…” Aku mulai serius. Saat itu aku mulai mengungkapkan perasaanku kepada Raya. Dengan harapan besar yang kutanamkan pada Raya.
“Apa?” Tanya Raya, namun ia tak memandang ke arahku. Ia malah asyik dengan komik yang sedang ia baca.
“Kalau aku suka sama kamu gimana?” Tanyaku pada Raya.
Kulihat Raya tiba-tiba saja langsung terdiam. Ia menutup komik yang sedang ia baca. Namun matanya tak mengarah padaku. Ia malah menundukkan kepalanya seakan tak ingin menbahas apa yang aku tanyakan padanya.
“Ra…” Ucapku, lirih.
Sambil tertunduk, Raya menggelengkan kepalanya. “Kamu nggak boleh suka sama aku, San.” Ucapnya, pelan dan datar. Namun ia masih tetap tak memandangku.
“Kenapa, Ra?” Tanyaku heran.
Saat itu aku merasa sudah merusak suasana keceriaan di hari itu.
“Kamu nggak boleh suka sama aku…” Ucapn Raya lirih, namun aku tetap mendengarnya dengan jelas. “Gak boleh…” Lanjutnya dengan suara yang mulai bergetar.
Aku terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Aku sadar, kalau aku memang tidak cocok untuk Raya. Namun batinku ini terasa menangis. Sedih…
Raya terus menunduk, ia seakan tak mau menatapku.
“Hmm… Itu cuma sekedar ungkapan hati aku aja kok, Ra… Jangan kamu anggap ya…” Ucapku, berusaha mencairkan suasana kembali.
Raya mengangguk.
Aku heran, kenapa Raya terus saja menunduk. Dengan sedikit keberanian yang kumiliki, aku mulai memegang tangan Raya. Namun aneh, saat itu kurasakan tangannya sangat dingin.
“Ra, tangan kamu kok dingin banget?” Tanyaku khawatir.
Raya hanya menggelengkan kepalanya.
Dengan perlahan kuangkat wajahnya dengan tangan kananku. Dan oh tidak, wajahnya sangat pucat. Lebih pucat dari hari-hari bisaanya.
“Kamu sakit, Ra?” Tanyaku, kali ini kekhawatiranku bertambah seribu kali lipat.
Raya menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis. Namun, tetap saja aku khawatir.
“Aku anter kamu ke dokter ya?” Aku tak bisa tinggal diam melihatnya begitu pucat.
Aku pun segera membuka jaket yang kupakai, dan kuberikan pada Raya.
“Aku nggak apa-apa. Aku cuma butuh istirahat. Aku pulang aja.” Ucap Raya, dengan nada suara yang begitu lemah.
“Kalo gitu aku anterin kamu ya…”
Namun, Raya tiba-tiba memegang tanganku.
“Nggak usah… kamu pulang aja, aku gak apa-apa kok…” Balas Raya.
Raya pun mulai melangkahkan kakinya perlahan. Ia benar-benar tak mau aku antar, padahal aku sangan mencemaskan keadaannya. Ada yang sedang tidak beres dengan kesehatannya.
Dengan berat hati, aku pun pulang ke tempat kos ku setelah langkah Raya menjauh, dan akhirnya tak terlihat lagi.
+++
Setelah sore itu, Raya tak pernah ada kabar. Bahkan aku tak tahu bagaimana keadaannya. Aku sangat ingin mencarinya, tapi entah harus mencari ke mana. Aku bahkan tak tahu di mana rumahnya. Aku mulai gila.
Hingga suatu malam, saat aku benar-benar merindukan Raya, aku teringat foto-foto yang kami ambil di Anyer. Ya, saat itu aku segera membuka folder foto-foto yang ada dalam handphoneku.
Namun, ketika aku membuka satu persatu foto itu, darahku seakan berhenti, tubuhku lemas, dan dadaku terasa sangat sesak. Ada yang aneh pada foto-foto itu. Ya, semua foto hanya memuat gambarku, dan tak ada satupun gambar Raya. Padahal kami selalu difoto bersama. Ini sungguh aneh. Aku hanya difoto sendiri, namun di setiap foto seakan ada seseorang yang menemaniku. Tentu saja ada yang menemaniku, Raya. Ahhh… aku benar-benar gila…
Malam itupun aku tidak tidur sama sekali, aku seperti baru kehilangan semangat hidup, dan yang kuinginkan adalah mati. Aku merasa bahwa aku tak bisa hidup tanpa Raya. Ya, itu yang kurasakan, dan rasa itu tidak kulebih-lebihkan sama sekali.
Di pagi hari yang lumayan cerah, aku pergi meninggalkan tempat kos ku. Entah kenapa langkahku tertuju pada toko DVD yang sering aku dan Raya kunjungi untuk membeli DVD.
Saat aku masuk ke dalam toko itu, seorang penjaga toko tersenyum ramah padaku. Aku pun tak segan membalas senyumannya itu. Lalu kuhampiri penjaga toko itu, karena aku begitu ingin memastikan sesuatu.
“Pagi, Mas!” Sapaku ramah.
“Iya pagi.” Balas penjaga toko itu yang juga ramah. “Ada yang bisasaya bantu?” Tanyanya, kemudian.
Aku terdiam sesaat, namun aku tak bisa seperti ini. Aku harus benar-benar memastikan semuanya. “Sebelumnya saya minta maaf jika pertanyaan saya aneh, tapi saya benar-benar ingin menayakan ini. Setiap hari Mas ini yang menjaga toko kan? Mas selalu lihat saya jika saya datang ke sini?” Tanyaku.
“Iya, saya memang setiap hari menjaga toko ini. Dan saya juga sering melihat Mas ini datang untuk membeli DVD kan?” Jawab penjaga toko.
“Mas tahu, selama ini saya suka datang dengan siapa kalo datang ke sini?” Tanyaku lagi.
Kulihat penjaga toko itu mengernyitkan dahinya. Mungkin ia merasa aneh dengan pertanyaan yang aku lontarkan. Tapi aku tak peduli.
“Yang saya lihat selama ini, Mas ini selalu datang sendiri.” Jawab penjaga toko.
Sontak jawaban penjaga toko itu membuatku sangat terkejut. Aku tak percaya dengan ucapannya.
“Apa Mas ini serius? Apa Mas ini nggak pernah liat cewek yang selalu datang sama saya? Ciri-cirinya kulitnya putih, rambutnya sepinggang lurus, cantik dan lembut, apa Mas nggak pernah liat cewek itu?” Tanyaku lagi, penasaran.
Penjaga toko itu semakin mengernyitkan dahinya. Kemudian ia menggelengkan kepalanya. “Tidak, Mas. Saya tidak pernah melihat perempuan yang Mas sebutkan tadi. Yang saya lihat, setiap Mas datang, Mas ini selalu datang sendiri. Tapi kadang juga saya ngerasa aneh. Soalnya kadang Mas ini suka kayak ngomong sendiri kalau lagi milihin DVDnya. Maaf ya, Mas, saya ngomong kayak gitu.” Jawab penjaga toko panjang lebar.
Aku benar-benar tak percaya. Semua yang kualami seperti hanya aku saja yang mengalaminya, tak ada yang tahu. Mungkin semua orang sudah menganggapku gila. Ya aku memang gilaaa…
+++
Hari terus berganti, dan Raya belum juga memberikan kabar padaku, apalagi menemuiku. Meski semua orang mengatakan bahwa selama ini aku selalu sendiri dan tak ada siapapun yang menemaniku, tetapi aku tetap yakin bahwa Raya memang ada. Dia nyata. Walau terkadang aku takut jika semua ini hanya mimpi, takut jika Raya hanya sosok halusinasiku.
Tanpa semangat, lagi dan lagi. Aku berangkat ke kampus untuk kuliah. Sebenarnya aku sedang tak ingin kuliah, tapi itu sudah menjadi tuntutanku sebagai mahasiswa, dan untuk mempertanggungjawabkannya di hadapan orang tuaku.
Sampai di kampus, dosen yang seharusnya mengajar di kelasku ternyata tidak ada. Beliau hanya memberikan tugas dan bisa dikumpulkan esok harinya. Jika tahu sejak awal, mungkin aku tak akan datang ke kampus.
Aku pun duduk di sebuah kursi panjang di koridor kelas. Di sana juga ada teman-temanku yang sedang berkumpul.
“Cantik ya orangnya, moga aja cepet sembuh…” Ucap Doni saat melihat sebuah foto di laptopnya Rian. Awalnya aku tidak tertarik untuk melihat foto itu. Tapi saat Rian menyebut nama “Raya”, aku langsung merebut laptop Rian dan kulihat foto itu.
“Raya…” Ucapku saat melihat foto Raya yang ada di laptop Rian. Tepatnya saat itu Rian sedang membuka Facebooknya dan melihat album foto Raya.
“Kamu kenal?” Tanya Rian padaku, namun tak langsung ku jawab. “Dia temen SMA aku.” Lanjutnya.
“Terus apa maksud dari kata-kata Doni tadi?” Tanyaku saat itu. Perasaanku benar-benar tak menentu. Akhirnya aku yakin, bahwa Raya memang nyata.
“Kata Rian dia lagi koma di rumah sakit, mangkanya aku doain dia moga cepet sembuh. Kan sayang kalo cewek secantik itu harus meninggal cepet.” Jawab Doni. “Gitu kan, Rian?” Tanya Doni ke Rian, Rian hanya mengangguk.
Sontak hatiku seakan baru saja terbanting. “Raya koma?” Tanyaku dalam hati.
“Sejak kapan dia koma?” Tanyaku, dengan nada suara yang berat.
“Hampir sebulan lah!” Jawab Rian.
Deggggghhhhh…” Lagi-lagi, semua itu membuatku terkejut. Mana mungkin Raya koma selama itu. Padahal aku baru tak bertemu dengannya beberapa hari ini saja. Mana mungkin hampir satu bulan. Selama hampir satu bulan itu kan waktu yang sama selama aku mengenalnya. Ya, aku mengenalnya hampir satu bulan ini.
Aku menatap foto Raya tak percaya.
“Dia koma kayak gitu karena kecelakaan bus yang ditumpanginya masuk jurang di daerah jalan Setia Budi. Yang aku dengar bus itu rombongan study tour. Di bus itu ada 40 orang mahasiswa, 18 orang meninggal, yang lainnya luka-luka dan sempat ada yang koma, cuma sekarang yang laennya udah pada siuman. Tinggal Raya aja yang sampe saat ini belom siuman. Malahan pas 2 hari yang lalu aku ke sana, dia keadaannya makin kritis.” Rian menceritakan semuanya.
“Kecelakaan di Jalan Setia Budi, mungkinkah kecelakaan yang waktu itu?” Batinku bertanya.
“Rumah sakit mana?” Tanyaku.menahan tangis.
“Rumah sakit Medika.” Jawab Rian.
Saat itu pula aku langsung berangkt ke Rumah Sakit Medika. Aku tak ingin melewatkan waktu untuk bisa bertemu lagi dengan Raya. Dan aku belum percaya jika Raya sudah koma selama itu.
Aku pergi ke bagian informasi, hingga kudapatkan kamar yang merawat pasien yang bernama Raya, Raya Keila Sagita lengkapnya.
Setelah aku menemukan kamarnya, langkahku seakan terpaku di depan pintu. Berat jika memang benar yang ada di dalam kamar itu adalah Raya yang selama ini kukenal.
Tiba-tiba, seorang perempuan paruh baya keluar dari kamar itu dan melihatku yang berdiri terpaku di depan kamar.
“Kamu temannya Raya?” Tanyanya dengan begitu lembut.
Aku hanya mengangguk.
“Masuk saja.” Ucap wanita paruh baya itu. Wajahnya mirip sekali dengan Raya.  Bisa dipastikan beliau adalah ibunda Raya.
Dengan langkah gontai, aku masuk ke dalam kamar itu. Dan langkahku semakin dekat dengan tempat tidur berwarna putih yang diatasnya tertidur lemah seorang gadis cantik yang sangat pucat.
Perlahan, tak sadar aku mulai meneterskan air mata. Itu Raya. Aku yakin.
Aku mulai memegang tangannya yang dingin dan diinfus. Kueratkan peganganku. Aku tak ingin lagi kehilangan Raya. Meski mungkin Raya tak mengenaliku, karena selama ini aku hanya mengenal sosok Raya yang tak nyata.
+++
Setiap hari aku selalu menempatkan waktu untuk pergi ke Rumah Sakit dan menunggu Raya. Aku ingin Raya cepat sembuh, dan kuulangi lagi hari-hari yang kan jadi nyata bersama Raya.
“Ibu sudah pasrah…” Ucap wanita paruh baya itu, terlihat tegar.
Aku pun memeluk wanita paruh baya itu, karena aku merasakan kepedihan wanita itu.
Keluarga Raya sudah mulai mengikhlaskan jika buruknya Raya harus pergi untuk selama-lamanya. Mereka terlalu kasihan melihat kondisi Raya yang setiap hari harus menerima jarum-jarum yang menyuntik tubuhnya, dan selang yang harus membantunya bernafas. Namun, beda dengan diriku, aku belum bisa mengikhlaskan diri jika harus mendapat kepastian terpahit dalam hidup ini. Aku ingin bisa mengenal Raya lebih jauh, jauh, dan jauh lagi. Karena aku mencintai raya.
+++
Dari hari ke hari, kondisi Raya terlihat lebih membaik. Aku pun mulai bisa bernafas dengan lega. Aku ingin Raya cepat melewati masa sulit ini.
“Keadaannya lebih membaik, tapi saya belum tahu apa perkembangan yang akan terjadi selanjutnya.” Ucap dokter yang samar-samar terdengar olehku saat berbicara dengan Ayah Raya.
Meski belum ada kepastian mengenai kondisi Raya, tetapi dengan perlahan semangatku mulai bertambah lagi. Ya, semua ini karena Raya. Aku jadi punya nafas baru tuk hidup lagi.
Hingga suatu ketika, aku mendapati Raya yang tersadar dari tidur panjangnya. Sungguh bahagianya aku. Aku pun segera memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Raya dan menceritakan bahwa Raya sudah sadar. Kabar ini pun membuat keluarga Raya sangat bahagia.
Subhanallah, ini sangat luar biasa… dan semoga kondisinya bisa bertahan dan bahkan bisa lebih baik lagi.”  Ucap dokter setelah memeriksa keadaan Raya.
Aku tersenyum bisa melihat Raya yang telah sadar. Meski Raya belum bisa mengenaliku. Ya, mungkin Raya belum menyadari keberadaanku.
Esoknya, esoknya dan esoknya, aku selalu datang ke Rumah Sakit hanya untuk Raya.
“Makasih ya kamu udah nemenin aku selama ini…” Ucap Raya begitu lemah.
Aku memegang tangannya. Kutatap matanya. Sungguh, aku tak menyangka jika akhirnya aku bisa menatap mata indah itu lagi.
“Kamu ingat aku?” Tanyaku memastikan.
Raya mengangguk.
Aku tersenyum. Aku yakin bahwa semua yang kualami bukanlah mimpi. Meski selama ini aku hanya bergumam dengan rohnya saja.
+++
Pagi itu matahari bersinar sangat cerah. Keadaan Raya pun begitu membaik. Hingga kini nafasnya tak usah lagi dibantu dengan oksigen.
“Dokter, sekarang aku boleh pergi ke luar kan?” Tanya Raya, dengan suara yang masih lemah.
“Sebaiknya jangan dulu, kondisi kamu saat ini belum pulih betul.” Jawab dokter.
“Hanya kali ini saja, dok!” Ucap Raya, sangat memelas.
“Baiklah, tapi kamu harus menjaga kondisi kamu, dan jangan terlalu lama di luarnya.” Ucap dokter yang akhirnya membolehkan Raya ke laur. Dokter itu pun meninggalkan kamar Raya.
“San, bawa aku ke luar…” Pinta Raya padaku.
Aku bingung saat itu, tidak mungkin rasanya jika aku harus membawa Raya ke luar dengan kondisinya yang masih sangat lemah.
 “Kumohon, aku ingin pergi ke taman…” Ucap Raya lagi, sangat meminta.
Aku tak langsung mengiyakan keinginan Raya. Mataku menoreh ke arah Ayah dan Ibu Raya. Dan mereka menganggukkan kepalanya. Mereka mengizinkan kami pergi ke taman.
Aku mengangkat tubuh Raya dan mendudukkannya di atas kursi roda. Setelah itu, kudorong kursi roda itu keluar dari kamar Raya.
“Aku ingin pergi ke taman yang terakhir kita bertemu…” Pinta Raya.
Aku sungguh dilema, karena tak mungkin aku membawanya ke taman tempat terakhir kami bertemu, karena tempatnya terlalu jauh. Aku khawatir dengan kondisi Raya.
“Kita ke taman ini saja ya.” Balasku, seraya menunjukkan taman yang masih di dalam kawasan rumah sakit.
“Aku mohon…” Lagi-lagi Raya memohon.
Dan aku tak mau memutuskannya sendiri aku segera menelepon Ayahnya Raya, untuk meminta persetujuan.
“Bawa saja dia ke tempat yang ia mau.  Biarkan dia bahagia…” Ucap Ayah Raya di balik telepon. Nada suaranya terdengar bergetar. Ya, beliau menagis.
Dengan berat hati, aku membawa Raya ke taman yang ia mau, taman tempat terakhir kami bertemu. Ya, taman di mana saat itu aku mengungkapkan isi hatiku pada Raya.
“Sandi…” Panggil Raya, lirih.
Aku pun segera menghampiri Raya dan berlutut di hadapannya. Agar aku bisa menatap wajah cantiknya.
“Ada apa?” Tanyaku, setelah aku tepat ada di hadapannya.
Tiba-tiba Raya menggenggam tanganku. Kurasakan tangannya yang sangat dingin.
“Inilah sebabnya kamu gak boleh suka sama aku.” Ucapnya, dengan suara yang bergetar. “Aku akan mati…” Lanjutnya, yang kemudian diikuti dengan tangisan.
Aku pun tak bisa menahan tangis. Aku memang cengeng,. Kuakui itu.
Dan setelah itu, kami duduk berdua di kursi yang ada di taman. Rasanya aku seperti kembali ke masa-masa indah bersama raya. Ya, masa-masa saat aku dan Raya duduk di kursi itu dengan canda dan tawa.
“Hari ini aku sangat bahagia. Terima kasih, San…” Ucap Raya.
Aku mengangguk.
Saat itu, aku melihat wajah Raya yang semakin memucat. Aku pun memintanya agar mau aku ajak kembali ke rumah sakit. Meski sempat ia menolaknya, tapi akhirnya ia mau kembali ke rumah sakit.
Aku kembali mengangkat tubuhnya dari kursi, dan kududukkan kembali ia pada kursi roda.
 Aku pun mendorongnya kembali.
+++
Aku duduk di kursi putuh yang berhadapan langsung dengan meja seorang dokter. Dan di depanku juga ada seorang dokter yang tak begitu tua sedang menatap pilu padaku. Aku tak tahu apa yang sedang ia lakukan.
Kulihat ruangan di sekelilingku. Terasa asing. Namun, aku tak ingin bertanya pada siapa pun akan tempat ini. Aku hanya ingin kembali ke masa lalu. Masa di mana aku bisa bersama dengan Raya. Atau aku ingin sekali bunuh diri agar aku bisa menyusul Raya ke alam sana. Aku takut Raya hanya sendiri di sana.
“Suster, bawa dia kembali ke kamarnya.” Ucap dokter itu pada seorang suster. Dan kemudian suster itu memegang tanganku dan mengarahkanku kembali ke sebuah kamar yang di dalamnya hanya ada kasur berwarna putih.
“Mas Sandi tidur di sini ya.” Ucap suster itu padaku. Dan aku hanya menurut pada perkataannya.
+++
Kursi roda itu terus kudorong, hingga aku tak sadar sebenarnya Raya sudah meninggalkanku pergi untuk selamanya.
Aku hanya bisa diam saat tanah itu menutup Raya untuk selama-lamanya. Aku meronta, aku tak ingin Raya dikubur. Raya tak kenapa-napa. Ia masih seperti Raya yang dulu. Air mataku terus menetes. Aku tak bias mengikhlaskannya pergi.
Beberapa orang di sekitarku segera membawaku dan menenangkanku. Namun bayangan Raya terus ada memenuhi otakku.
Sepulang dari pemakaman Raya, aku pun pergi ke sebuah gedung yang cukup tinggi. Dan aku mencoba melompat dari atap gedung itu. Berusaha mencari jalan agar aku bisa menyusul Raya.
Selama satu minggu aku mengalami koma. Dan setelah itu aku kembali sadar. Fisikku kembali normal. Namun jiwaku tak sepenuhnya kembali.
+++
Lagi-lagi aku berada di dalam ruangan yang sama, berhadapan dengan dokter itu lagi, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih sama dan masih selalu menceritakan hal yang sama, tentang Raya.
Ya, kini aku berada di rumah sakit jiwa, dalam proses penyembuhan…

Tamat
n_n

Pergilah Kau!!!


Oleh : Resha T. Novia

Zia begitu senang, saat sahabatnya yang bernama Nino akan datang mengunjunginya saat liburan kuliah nanti. Kenapa Zia harus senang? Ya, itu karena Zia dan Nino sudah tidak bertemu selama satu tahun terakhir. Mungkin bukan waktu yang terlalu lama, tapi bagi Zia satu tahun adalah waktu yang begitu lama. Karena sebenarnya perasaan Zia pada Nino tidak sekedar sayang pada sahabat, tapi perasaannya lebih dari itu. Hanya saja, tidak ada satu orangpun yang tahu.
“Gue bener-bener udah nggak sabar, gue pengen liat elo yang sekarang.” Ucap Zia dalam hati. “Semoga elo nggak berubah…” Lanjutnya seraya senyum-senyum sendiri. Mungkin kalo orang lain liat, Zia bisa disangka orang gila.
Detik demi detik, menit demi menit dan bahkan hari demi hari Zia lalui dengan penuh pengharapan besar agar waktu lebih cepat berlalu, sehingga liburan kuliah kali ini cepat datang. Tapi tetap saja, waktu tidak bisa dipercepat, buktinya 1 menit masih 60 detik, 1 jam masih 60 menit dan 1 hari masih 24 jam, bahkan 1 minggupun masih 7 hari… Yang jelas, Zia harus sabar menunggu waktu itu tiba.
Dan akhirnya, penantian Zia nggak sia-sia. Liburan datang dan Nino pun datang. Kebahagiaan Zia nggak bisa digambarkan lagi. Tapi kebahagiaan Zia seakan lenyap seketika saat Nino mengenalkan seorang cewek yang datang bersamanya dari Yogyakarta.
“Zia, kenalin nih, namanya Jessi, cewek gue.” Kata Nino saat mengenalkan pacarnya pada Zia.
Zia kecewa and kesal banget sama Nino, Zia juga ngerasa jeales sama cewek yang dibawa Nino. Tapi nggak mungkin kalo Zia nunjukin perasaannya itu, jadi dengan terpaksa Zia harus pura-pura seneng atas kebahagiaan Nino yang udah punya pacar. Meski itu sangat menyakitkan.
“Zia…” Ucap Zia seraya membalas jabatan tangan dari Jessi.
“Wah, ternyata elo nggak berubah sama sekali ya, elo masih persis kaya Zia yang dulu.” Ucap Nino setelah melihat penampilan Zia yang memang apa adanya.
Zia hanya tersenyum. Rasa kesalnya tetap coba ia tutupi. Mungkin kekesalannya itu nggak akan hilang dengan cepat, karena Nino dan pacarnya akan menginap di rumah Zia sampai mereka kembali pulang ke Yogyakarta. Parah kan?
 “Kok rumah elo sepi sih?” Tanya Nino setelah masuk ke dalam rumah Zia. “Orangtua sama Kak Zendra kemana?” Tanya Nino lagi.
“Mereka lagi ada di Bogor, pada liburan di rumah eyang.” Jawab Zia.
“Elo kenapa nggak ikut?” Tanya Nino lagi.
“Gara-gara elo, gue nggak ikut.” Jawab Zia. “Jadi, selama liburan, di sini Cuma ada kita dan Bi Marni.
Nino mengangguk.
Setelah itu, Zia mengantar Nino dan Jessi ke kamar-kamar yang akan mereka tempati masing-masing selama berada di rumah Zia.
^_^
Liburan yang didambakan Zia harus musnah begitu saja karena kehadiran Jessi yang merusak suasana. Bahkan liburan yang didambakan Zia harus berbanding kebalik, karena liburan kali ini akan berubah menjadi mimpi buruk Zia. Gimana nggak? Ngedadak banget Zia berubah seakan jadi tour guide buat Nino dan Jessi. Terutama buat Jessi, coz baru pertama kalinya dia datang ke Bandung. Bagi Zia ini benar-benar cobaan…
“Mmm…elo dari kapan temenan sama Nino?” Tanya Jessi pada Zia, saat Nino tidak ada di antara mereka.
“Udah lama banget, mmm…kira-kira udah tujuh tahunan lah.” Jawab Zia.
“Apa sedeket itu ya kalian temenan?” Tanya Jessi lagi, ekspresi wajahnya mulai berubah. Seolah mencurigai sesuatu.
“Ya gitu deh, namanya juga sahabatan.” Jawab Zia, cuek.
“Sebelumnya sorry banget ya gue nanya-nanya terus, tapi jujur aja gue nggak suka sama kedekatan elo sama Nino. Gue pengen elo nggak usah terlalu deket deh sama Nino, gue harap elo hargain gue sebagai pacarnya Nino.” Ucap Jessi. Kata-katanya semakin membuat Zia kesal dan benci sama Jessi.
Zia menghela nafas, mencoba terus sabar. “Gue nggak janji.” Ucap Zia, yang kemudian langsung masuk ke dalam rumah.
“Elo mau ke mana? Gue kan baru beli makanan kesukaan elo!” Tanya Nino yang baru datang setelah membeli makanan yang disuka Zia.
“Katanya dia masuk angin, sayang. Mangkanya dia cepet-cepet masuk kamar.” Serobot Jessi, sebelum Zia menjawabnya.
“Oh…” Nino percaya begitu saja.
Esok harinya, Nino meminta Zia untuk menemaninya dan Jessi untuk berjalan-jalan di kota Bandung. Entah kenapa Nino selalu meminta Zia untuk ikut menemaninya, padahal Nino sendiri sudah tahu banget tentang kota Bandung, karena ia pernah tinggal selama 6 tahun di kota kembang itu.
Mau di jalan, di kafe, di mobil, bahkan di manapun, Zia seolah menjadi kambing conge. Ya, karena ia selalu di antara Nino dan Jessi. Bahkan dengan terpaksa Zia harus melihat Nino dan Jessi yang terkadang terlihat mesra. Mmm…bikin hati Zia panas aja!!
Pengen banget Zia marah-marah sama Nino dan ngusir Jessi buat keluar dari rumahnya. Tapi semua itu nggak mungkin Zia lakuin, karena ia masih menghargai Nino sebagai sahabatnya. Lagian kalo Zia sampe ngusir Jessi, bisa-bisa Nino ngemusuhin dia. Bukannya maklah untung, tapi malah buntung.
“Nino, gue pulang duluan ya…” Pinta Zia.
“Nggak, elo harus tetep temenin kita.” Kata Nino.
Zia, Nino dan Jessi terus menyusuri jalan-jalan di kota Bandung seraya berkuliner.
Tetapi, untung saja, tiba-tiba seorang teman kuliah Zia menghampiri Zia.
“Hey, lagi ngapain elo di sini?” Tanya Tomy.
“Eh, Tom… Gue lagi nganter temen gue jalan-jalan.” Jawab Zia.
“Baik banget elo jadi temen.” Ucap Tomy, yang sadar kalo Zia lagi nganter orang yang lagi pacaran.
Zia memelototi Tomy, tapi Tomy malah ketawa mesem.
“Mmm…Nino, gue ada urusan, gue boleh pergi kan?” Kata Zia pada Nino tiba-tiba.
“Emangnya elo mau ke mana?” Tanya Nino.
“Gue ada urusan pribadi sama Tomy, sorry ya gue tinggal.” Jawab Zia yang langsung pergi seraya menarik tangan Tomy agar ikut meninggalkan tempat itu bersamanya.
Sorry ya, tadi gue pake nama elo biar bisa pergi.” Kata Zia.
“Iya, nggakk apa-apa lagi. Lagian masa sih gue tega ngeliat elo jadi kambing conge kayak gitu.” Kata Tomy.
Thank you, Tom…” Ucap Zia.
“Eit, tapi ada imbalannya.” Kata Tomy, Zia bingung. “Kapan-kapan elo harus mau kalo gue ajak jalan. Gimana?”
Zia bingung, tapi akhirnya ia menerimanya. Karena nggak ada salahnya sekali-kali jalan sama cowok yang keren kayak Tomy.
Dan hari itupun Zia habiskan bersama Tomy, mungkin itu lebih baik dari pada menghabiskan waktu bersama Nino dan Jessi yang pacaran.
^_^
Hari pertama, hari kedua, hari ketiga, hari keempat, hari kelima, hari keenam dan akhirnya hari ketujuh, seminggulah sudah Nino dan Jessi berada di rumah Zia. Seminggu itu pun Zia menemani mereka. Tapi untung saja di hari ke tujuh itu Jessi minta pulang sama Nino. Zia sih senang kalo Jessi mau pulang, tetapi, Zia nggak tahu apa dia harus senang atau sedih kalo Nino juga harus pulang. Seenggaknya yang Zia rasain ialah akan terbebas dari mimpi buruk yang menjelma liburan itu.
Thank you yah udah mau nerima kita tinggal di rumah elo selama kita liburan.” Kata Jessi, dengan nada bicaranya yang menyebalkan.
Zia hanya mengangguk, karena ia tak mau mengeluarkan kata hanya untuk cewek yang nyebelin itu. Baginya, sebuah kata begitu berarti dan akan dikeluarkan hanya untuk orang yang berarti. Dengan kata lain, Jessi nggak berarti sedikitpun.
Sorry ya, gue udah ngerepotin elo.” Ucap Nino. “Gue juga thanks banget sama elo, karena elo mau nerima gue sama Jessi tinggal di rumah elo, elo juga selalu nemenin kami. Gue bener-bener thanks banget sama elo. Tapi gue minta maaf, karena ternyata gue hanya bisa tinggal selama seminggu di sini.” Lanjut Nino.
Zia mengangguk. “Sama-sama.” Balas Zia.
Jessi pun bersiap naik ke dalam mobil untuk pergi dan kembali ke Yogyakarta. Sementara Nino masih ingin mengucapkan sepatah-dua patah kata pada Zia.
“Gue bener-bener minta maaf, mungkin gue ngecewain elo. Gue emang cowok yang payah, yang takut dan nurut sama ceweknya. Tapi asal elo tahu, gue nggak ngeharapin liburan yang kayak gini, yang diatur sama cewek gue.” Kata Nino. “Gue pengen suatu saat nanti, gue bener-bener ngehabisin waktu cuma sama elo aja. Gue janji, nanti gue bakalan datang sendiri.” Lanjutnya.
“Elo nggak usah janji, pikirin aja cewek elo itu.” Kata Zia. “Dan mendingan elo pergi sekarang, kasian tuh cewek elo nunggu kelamaan.” Lanjutnya dengan agak berat hati.
“Sampai nanti…!!!” Ucap Nino, sebelum ia naik ke dalam mobil.
Nino pun melngkahkan kakinya menuju mobil. Dan kemudian, mobilnyapun melaju meninggalkan halaman rumah Zia.
Entah kapan lagi Zia akan bertemu dengan Nino, hanya waktu yang akan menjawabnya. Tetapi Zia berharap, kelak Nino hanya akan datang sendiri.

-sampai di sini-