Kamis, 27 Oktober 2011

Perdebatan hati

0leh : Resha T. Novia

"Hey! Ke mana saja kau? Kenapa kau baru datang dan menyapaku? Bukankah kita sudah lama berteman? Apa kau baru sadar bahwa aku ada? Keterlaluan sekali jika seperti itu. Tahu kah kau, saat ini hatiku terlalu bingung. Kau datang dan menyapa di saat keadaanku seperti ini. Kenapa tidak dari dulu? Atau mungkin lebih baik kita tak pernah berteman. Eh, tidak tidak, aku masih ingin berteman denganmu. Ah, entahlah. Aku seakan dibuat gila. Gila karenamu! Hmm.. maaf, aku tak bermaksud menyalahkanmu. Aku hanya mencoba mengeluarkan apa yang kurasa. Apa aku salah? Semoga tidak. Dan kau, kumohon berhentilah sampai di sini. Aku akan senantiasa menerimamu sebagai sahabatku, jika kau pun menginginkannya. Tak lebih. Semoga. Meski rasa ini pun sebenarnya mulai tertanam, namun takkan kubiarkan tumbuh, agar tak mengacaukan hatiku yang tertanam rasa yang lain."



*hahahahaaaaa,,, jgn dianggap serius ya,, biar aku ja yang gila...
tulisan ini cuma sesuatu yang gak penting,, gak ada inspirasi.. ^o^

Kamis, 20 Oktober 2011

Kekhawatiran yang Menyelimuti

Oleh : Resha T. Novia


Ada satu kekhawatiran yang terus menghantui dalam diri,
menembus pikiran yang tak ingin tersakiti,
aku tak tahu harus berkata apa,
karena aku tak tahu harus memulainya dari mana,
yang kutahu hanyalah rasa yang semakin tak dapat kututupi dan bersembunyi dalam diri,
hingga dalam langkahku yang semakin jauh kumerasa terus diikuti,
aku benar-benar terhantui...

Bimbang

Oleh : Resha T. Novia


Entah kenapa rasa ini mulai bimbang,
seakan semua berkecamuk dalam satu waktu yang tak kumau,
aku tak pernah inginkan ini,
aku hanya ingin kepastian dari hati,
hatiku yang telah lama membeku,
dari segenap jiwa yang sempat terlukai...

Aku tak pernah inginkan rasa ini,
rasa bimbang yang terus saja mengusik hati,
menggoyahkan pikiran yang semakin tak kumengerti,
cukup kepastian yang kuingini,
tuk meluluhkan rasa di dalam hati...

Aku inginkan bimbang ini hilang,
agar aku dapat mengerti,
dari sebuah kepastian yang akan menemani,
tuk sosok sepertiku ini,
di sini, tanpa bayang-bayang ilusi...



#gak tau kenapa hari ini rasanya bimbang banget... ada dua rasa yang sekaligus menyapa... hmmm... mungkin ini yang sering orang rasain kalo lagi dilema.. hoho.. tapi entahlah!!!
yang jelas,, aku pengen rasa bimbang ini cepet hilang... amin.. n_n
God, help me please... u_u

Minggu, 16 Oktober 2011

Mending Jadi Gayus atau Nazaruddin…… ???


Oleh : Resha T. Novia

Anding mematikan televisi di kamarnya. Tapi untung hanya ia matikan. Niat awalnya sih ingin membantingkan televisinya itu. Tapi ia juga tidak mau kena semprot dari kedua orang tuanya yang sudah membelikan ia televisi. Hal itu terjadi karena ia bosan pada kebanyakan acara yang ditayangkan televisi, terutama berita. Ya, ia bosan karena hampir semua yang ditayangkan hanya itu-itu lagi, seperti tentang politik antara partai x dengan partai z, kasus  tentang KPK vs Polisi, kasus Bank Century yang gak selesai-selesai, dan kasus Bank Century pun seakan dialihkan isunya, dengan dicuatkannya kasus video porno Ariel dengan Luna Maya. Selain itu juga ada kasus Gayus Tambunan yang melahap uang pajak, peninjauan kembali (PK) kasus Antasari Azhar yang membunuh Nazrudin Zulkarnaen, bahkan sekarang ini yang sedang mencuat adalah kasus suap Wisma Atlet yang melibatkan Nazaruddin. Belum lagi kasus yang lainnya. Sungguh malangnya negeri ini. Hmmm…
            Anding menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan semua yang ia lihat selama ini.  Adanya media memang bagus untuk menambah pengetahuan masyarakat, tapi tak sedikit pula memberikan dampak negatif yang mungkin tidak begitu dirasakan atau tak langsung bisa dilihat secara kasat mata. Contohnya Anding sendiri, ia merasa iri pada Gayus juga Nazaruddin. Bahkan terkadang ia malah berpikir dan bercita-cita jadi Gayus atau Nazaruddin. Cita-cita yang aneh sih, tapi ia melihat sudut pandang yang berbeda dan cenderung salah. Ya, ia berpikir bahwa jadi seorang Gayus atau Nazaruddin itu enak. Seperti Gayus, meski ditahan tapi masih bisa jalan-jalan dan liburan ke Bali, bahkan sampai bisa menonton pertandingan Tenis Internasional. Waw.. Tapi bukan hanya itu saja, Gayus juga melakukan pesiar ke luar negeri bahkan ke dua Negara yaitu ke Makao sebagai tempat judi yang paling asoy dan Malaysia. Sungguh luar binasa, karena terlalu banyak uang jadi seperti itu. Sekalian saja Gayus dijadikan duta pariwisata, karena tempat-tempat yang dikunjunginya bisa mendadak jadi terkenal. “Enak bukan?” Pikir Anding.
            Lain lagi dengan Nazaruddin, setelah diduga terlibat dalam kasus suap Wisma Atlet, ia masih bisa kabur ke Singapura dengan alasan akan pergi berobat karena ada gangguan jantung. Nyarisnya kepergiannya tersebut tepat satu hari sebelum pihak Imigrasi mencekal Nazaruddin untuk bepergian ke luar negeri demi proses hukum, itupun atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aneh, tapi nyata. Nazaruddin emang pinter, kabur ke Singapura, karena mungkin dia tahu kalau Sigapura itu tidak memiliki perjanjian ekstradisi[1] dengan Indonesia, jadi dia bisa bebas jalan-jalan di Singapura tanpa takut ditangkap polisi setempat. Dan ada lagi yang lebih seru sekaligus hebat kalau jadi seorang Nazaruddin, yaitu tentang kepulangan Nazaruddin ke Indonesia. Bagaimana tidak? Hanya untuk menjemput seorang Nazaruddin, Negara kita (Indonesia) sampai berani untuk mengeluarkan uang yang tak sedikit nilainya, bahkan sampai menggunakan pesawat carteran asal Amerika Serikat. Sungguh istimewa sekali seorang Nazaruddin ini.
            “So, mendingan jadi Gayus atau Nazaruddin ya…???” Tanya Anding dalam benaknya.
            “Andiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnngggggggggggggg……..!!!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan yang volumenya sudah tak bisa dibayangkang, hingga kaca yang ada di kamar Anding pun bergetar gara-gara efek dari suara tersebut.
            “Iya, Mah…” Balas Anding setengah berteriak. Masih malas untuk beranjak dari tempat tidurnya. Namun, dengan sedikit terpaksa Anding pun turun dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar. “Ah, Mamah malah ngerusak khayalanku.” Gerutunya.
            “Kenapa kamu?” Tanya Mamah.
            “Nggak…” Jawab Anding, datar.
“Ini, anterin kue ini ke rumah Uwa[2] kamu ya. Awas, jangan berkurang!” Titah Mamah seraya memberikan sebuah kantong yang di dalamnya ada sebuah kotak putih yang berisi kue.
            “Iya, Mamah…” Ucap Anding seraya menerima kantong dari Mamahnya.
            Anding pun langsung berangkat ke rumah Uwanya yang tak jauh dari rumahnya. Mangkanya ia putuskan untuk berjalan kaki saja.
            “Tadi khayalanku udah sampe mana ya?” Tanya Anding pada dirinya sendiri sambil garuk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.
            “Anding!!!” Panggil seseorang saat Anding sedang berjalan. Ia pun menghentikan langkahnya dan menolehkan pandangannya.
            “Uwa?” Anding heran, ternyata Uwanya yang memanggil.
            “Mau ke mana kamu?” Tanya Uwanya.
            Anding terdiam sejenak. “Mau ke rumah Uwa.” Jawabnya seraya menunjuk ke arah Uwanya.
            “Lah, kamu ini bagaimana. Mau ke rumah Uwa tapi kok gak langsung ke rumah Uwa, malah ngelewatin aja?” Tanya Uwanya, heran.
            Lagi-lagi Anding diam sejenak, pandangannya pun beralih untuk melihat tempat sekitar. Ia baru sadar bahwa ia telah melewati rumah Uwanya.
            “Begooooo…” Ucap Anding dalam hati. Yang kemudian langsung menghampiri Uwanya. “Ini Wa, ada titipan dari Mamah buat Uwa.” Ucap Anding seraya memberikan kantong yang Mamanya kasih tadi.
            Uwanya pun langsung menerima kantong tersebut.
            “Kalo gitu Anding langsung permisi pulang aja ya, Wa.” Kata Anding.
            “Loh, kenapa nggak masuk dulu?” Tanya Uwa.
            “Anding mau nyiapin keperluan buat hari pertama Anding kuliah, Wa. Besok kan udah mulai kuliah.” Jawab Anding, hanya alasan.
            Uwa menganggukkan kepalanya. “Oia, kamu ngambil fakultas apa jadinya, Ding?” Tanya Uwa.
            “Fakultas Hukum, Wa.” Jawab Anding.
            “Kuliah yang bener ya, Ding.” Ucap Uwa.
            Anding menganggukkan kepalanya dan langsung menyalami Uwanya itu. Setelah itu Anding pergi untuk pulang.
            Saat Anding hampir sampai di rumahnya, tiba-tiba ada motor yang melaju dengan kecepatan tinggi dari arah kanannya. Anding terkejut dan langsung menghindari agar ia tak terserepet oleh motor itu. Namun naas, ternyata nasib Anding di hari itu sedang tidak baik, ia malah kejebur got yang bau. Sedangkan di sebrang jalannya banyak orang yang sedang membeli bakso dan melihat kejadian tersebut. Orang-orang pun ketawa melihat Anding yang basah kuyup, kotor dan bau.
            Muka Anding seakan dibanting, ia segera bangun dan langsung berlari masuk ke dalam rumahnya. Namun, sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Anding malah kena semprot sang Mamah karena membawa aroma tak sedap ke dalam rumahnya. Dengan terpaksa Anding pun harus membersihkan badannya di halaman rumah dari air keran yang bisaa dipakai untuk menyiram tanaman.
            “Sial!” Batin Anding, dongkol.
***
            “Kriiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnnnngggggggggggggg…………….” Terdengar bunyi alarm sangat nyaring di pagi hari.
            Anding memang bisaa dibangunkan oleh alarm yang bunyinya bisa menggetarkan seisi rumah.
            Anding segera bangun dari tidur, kemudian mandi dan bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Yupz, hari ini adalah hari pertama ia kuliah, dan berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum.
            “Mah, Anding berangkat dulu ya…” Ucap Anding seraya menyalami Mamanya yang sedang menyapu teras rumah.
            “Iya, hati-hati di jalannya ya, Ding.” Balas Mamah. Anding mengangguk. “Jangan sampe kejebur got lagi.” Lanjutnya.
            Anding langsung mengerutkan dahi dan cemberut. “Ternyata Mamah masih inget kejadian kemarin.” Gerutunya seraya menyalakan mesin motor bututnya.
            “Assalamu’alaikum…” Salam Anding saat berangkat dan menggas motornya itu.
            “Waalaikum salam…” Balas Mamah.
            Setengah jam kemudian, Anding telah sampai di kampusnya. Kampus yang cukup ternama di daerahnya. Anding pun segera memarkirkan motor bututnya yang berwarna merah, kemudian langsung bergegas menuju ruang kelasnya.
            Sampai di kelas, ternyata sudah banyak teman-teman barunya yang sudah datang. Beberapa orang sudah Anding kenali karena satu sekolahan waktu SMA, sedangkan yang lainnya baru Anding kenal saat ospek minggu lalu.
            “Hey, Panjul!” Sapa Anding dari kejauhan saat melihat teman barunya yang mulai akrab saat ospek.
            “Hey juga, Anding.” Balas Panjul dengan logat jawanya yang medok. Panjul memang orang jawa asli yang saat ini merantau ke tanah sunda untuk kuliah.
            Anding pun mengahampiri Panjul, dan duduk di kursi yang ada di sebelah kirinya Panjul.
            Tak lama kemudian, dosen yang akan mengajar di kelas mereka pun datang. Dosen mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum.
***
            Dosen Mata Kuliah Pengantar ilmu hukum tiba-tiba saja menghampiri Anding. Sementara Anding hanya terdiam.
            “Kamu yang namanya Anding?” Tanya Dosen.
            Anding hanya mengangguk.
            “Kamu ikut saya sekarang!” Ucap Dosen.
            Anding pun mengikuti langkah dosennya. Sebagai anak baru, ia pasti menuruti apa yang dosennya suruh, dari pada tertimpa masalah. Sungguh terlalu kan kalau anak baru udah langsung ngeyel.
            Namun, Anding tiba-tiba terkejut saat ia baru keluar dari kelasnya, ternyata di luar kelasnya sudah ada dua orang polisi yang memakai seragam lengkap yang sedang menunggu Anding keluar dari kelas.
            “Ini, Pak. Mahasiswa kami yang bernama Anding.” Ucap Dosen.
            “Terima kasih, Pak Buhron.” Balas salah satu polisi itu pada Dosen Anding.
            “Maaf, ini surat penangkapan saudara, dan sekarang saudara harus ikut kami ke kantor polisi.” Kata polisi yang satunya lagi, seraya memberikan surat penangkapan pada Anding.
            Anding menerima surat itu, dan ia buka suratnya. “Tak mungkin aku ditangkap.” Ucap Anding dalam hati seraya membuka surat itu. “Surat ini pasti salah tujuan.” Lanjutnya, masih dalam hati.
            Anding membelalakkan matanya, saat ia membaca nama yang tertera dalam surat penangkapan tersebut. Anding Wirata Kusuma. Ya, itu nama lengkap Anding, dan polisi itu tidak salah orang. Anding tak percaya dengan semua ini.
            Anding pun diboyong menuju mobil polisi. Namun Anding mencoba meronta.  Ia tak mau ikut dengan dua orang polisi itu, karena ia tak merasa salah apapun.
            “Saudara tenang saja, nanti di kantor polisi kami akan menjelaskan semuanya.” Ucap salah satu polisi, mencoba menenangkan Anding. Namun Anding tak tenang juga. Akhirnya kedua polisi itu mulai memaksa Anding tanpa mempedulikan keadaan Anding yang masih syok dengan semua yang terjadi.
            Tiba di kantor polisi, polisi menjelaskan sebab Anding ditangkap, dan penyebab Anding ditangkap ialah karena Anding dituduh telah melakukan pencurian laptop milik Nyoman, temannya.
            “Loh, Pak. Saya tidak mencuri laptopnya Nyoman. Saat itu Nyoman meminjam uang pada saya, dan ia memberikan jaminan laptopnya pada saya. Jadi kenapa saya dituduh mencuri laptop miliknya, Pak?” Tanya Anding, heran.
            Namun sayang, semua pernyataan Anding tak bisa dibuktikan dengan apapun. Sehingga Anding harus tetap tidur di penjara, menunggu kasus ini selesai di meja hijau.
***
            Seminggu sudah Anding terpaksa menginap di penjara tanpa bisa menolak. Hingga waktu Anding untuk diadili pun telah tiba. Anding pun melaksanakan sidang pertama dan untuk pengalaman pertama sebagai terdakwa yang didakwa pasal 362 yang berbunyi “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.”[3]
            Anding benar-benar syok, ia tak mau jika harus dihukum penjara selama itu. Ia merasa masih sangat muda, jika ia harus dipenjara, maka sama saja perjalanan hidupnya terhenti sampai di sini. Dan selanjutnya hanya ada perjalanan kelam yang tak akan bisa kembali seperti semula. Ia akan mencemarkan nama baik dirinya sendiri, nama baik keluarga, bahkan nama baik seorang mahasiswa. Ia akan dianggap telah memalukan generasi muda, generasi penerus bangsa.
            Setelah dakwaan telah selesai dibacakan oleh Penuntut Umum, tiba-tiba saja penglihatan Anding mulai kabur. Ia tak tahu apa yang sedang terjadi pada matanya. Dan tiba-tiba pula, badan Anding mulai melemah. Tak ada lagi sisa tenaga untuk menahannya tetap duduk tegap saat proses persidangan. Anding pingsan.
            Hanya ada suara-suara yang terus berusaha membangunkan Anding, namun mata Anding seakan berat untuk dibuka.
            “Anding… Anding… Anding… Andiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnngggggggg….!!!” Terdengar suara itu semakin keras.
            “Iya Pak Hakim, maafkan saya, saya tidak bersalah Pak Hakim…” Ucap Anding saat bangun.
            “Bicara apa kamu?” Tanya Dosen.
            Anding membelalakkan matanya, ia terkejut, ternyata ia sedak ada di dalam kelas. Bukan di dalam ruang sidang. Anding menghela nafas, lega.
            “Nanti selesai mata kuliah saya, kamu ikut ke ruangan saya.” Kata Dosen, dengan muka yang garang smbil memelototi Anding.
            “I… I… Iya, Pak!” Ucap Anding, terbata-bata.
            “Kamu sih, hari pertama kuliah beraninya tidur di kelas, bikin masalah aja.” Ucap Panjul.
            Anding hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
            Setelah selesai kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Anding pun ikut ke ruangan Dosen. Dan di sana ia mendapatkan wejangan dari dosen. Ia memang merasa salah, mangkanya ia mendengarkan semua wejangan dari sang dosen dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Setelah itu Anding pun bisa kembali kuliah bersama teman-teman yang lainnya.
            “Nyuri laptop aja didakwa lima tahun… Apalagi kalo korupsi sama nerima penyuapan ya?” Pikir Anding setelah keluar dari ruang dosen, masih kepikiran sama mimpi singkat yang menghiasi tidurnya di kelas tadi. “So, kayaknya, aku nggak mau jadi Gayus atau Nazaruddin deh, berabe! Takut dipenjara. Di mimpi aja udah nggak enak, apalagi nyata. Oh no!” Lanjutnya.
            Anding pun melepas jauh-jauh pikiran dan cita-cita menjadi seorang Gayus Tambunan atau Muhammad Nazaruddin. Ia lebih memilih menjadi dirinya sendiri dan menjadi orang yang lebih baik. Juga ingin menjadi seseorang yang dapat menegakkan hukum sesuai tujuan dari Negara, yaitu kepastian houkum, keadilan dan kesejahteraan. Tanpa embel-embel apapun.

Tamat,,, ^o^


[1] Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara yang meminta penyerahan seorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejehatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan menghukumnya. (Menurut Undang-undang RI No. 1 Tahun 1979).

[2] Uwa diambil dari Bahasa Sunda, yaitu panggilan dari seorang anak untuk kakak dari orang tuanya, bisa untuk laki-laki ataupun perempuan.
[3] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 128.

Selasa, 11 Oktober 2011

Sajak Rindu

Oleh : Resha T. Novia

Sajak seutas pilu,

memaknai hamparan langit yang biru,

dalam lirih terdengar sendu,

saat aku sedang merindu,

pada sosok sepertimu,

yang selalu kutunggu,

di hari-hariku...

Tumbuh Perlahan

Oleh : Resha T. Novia
Cinta itu tumbuh perlahan,
dan aku bahagia,
dibawa terbang ke awang-awang...
Benci itupun tumbuh perlahan,
dan aku seakan terjebak,
terperosok masuk dalam jurang penderitaan...

Cinta dan benci, 
terlalu sulit dimengerti,
tuk orang awam sepertiku ini,
cukuplah sampai di sini,
perjalanan cintaku yang telah tersakiti...

Senin, 03 Oktober 2011

#Edisi bongkar lemari n catatan lama (lagi)

*Nemu catatan puisi dari seorang sahabat yang namanya Septian Dona Prasetyo,, hmmm...jadi kangen kumpul, maen n ngebolang kayak dulu... -.-*

ini dia puisinyaaaa.... >>>>>


Kisah Sahabat


Oleh : Septian Dona Prasetyo



Ingat kisah tentang sahabat
Seorang teman yang sangat dekat
Hidup bersama tanpa berdebat
Selalu berikan pendapat
Bagai ikan dengan lautan
Sulit untuk terpisahkan
Tak pernah terdengar permusuhan
Selalu menjalin perdamaian
Ingat cinta seorang sahabat
Sangat tentram juga hangat
Selalu hidup penuh semangat
Ciptakan keluarga yang erat
Saling berbagi dan mengerti
Untuk dapatkan hidup yang berarti
Saling damaikan suasana hati
Tuk selalu hidup sampai nanti

Ini nih fotoku n sang penulisnya.. hehe...
Tapi persahabatan kita gak cuma berdua,, masih ada lagi sahabat  yang lain.. . 
ini dia...


Hwaaaaaaaaaaaaa...........jadi kangen kalian kawannnnnnnnnnn............
jarak n kesibukan masing-masing jadi kayak tembok penghalang ya....? huhu....
kapan kita kayak dulu lagi??? hueeeeee T_T ...
tapi meski gak bisa kumpul kayak dulu lagi, aku tetep bersyukur coz ampe sekarang kita masih bisa sahabatan.... Dan semoga persahabatan kita kekal untuk selamanya... aminnnnn..........

#Masih edisi bongkar lemari n acak-acak buku lama

Perpisahan


Oleh : Resha T. Novia


3 tahun dalam kebersamaan
yang melebur menjadi kebiasaan
hingga susah tuk berubah
meski waktu memaksa pisah


3 tahun dala canda tawa
yang selalu menghibur jiwa raga
dalam gundah tak terhingga
meski itu tak terduga


Saling berbagi tuk memberi
pada kawan yang tak mengerti
Saling percaya tuk merangkai janji
yang akhirnya untuk dinanti


Sampai jumpa kawan...
Janji kan tetap dinanti...
Hingga akhirnya semua kembali...





***Uggghhhh..... jadi inget masa-masa SMA dulu... truz ini puisi aku buat pas tepat di hari perpisahan waktu SMA (Selasa, 16 Juni 2009). Hmmm... kalo inget waktu zaman SMA dulu jadi pengen kembali kayak dulu dehhhh... Tapi itu gak mungkin, waktu kan gak bisa diputer mundur... Ya kecuali pake alat dari doraemon biar bisa balik ke dulu lagi.. hihihi...*** 

#Edisi bongkar lemari n acak-acak buku lama

Rindu


Oleh : Resha T. Novia


Kemelut rindu menyelimuti hariku
dalam angan yang inginkanmu
tuk kembali dalam cinta sang sahabat

Indah rasa untukmu
takkan membuat kita hancur
meski perubahan datang menagih janji
yang berikrar saat itu

Hilangmu, resahkanku
yang ada di sini tuk menanti
walau kutahu kau belum pasti kembali
dalam indahnya hari
di masa silam yang telah terlewati




***Puisi ini ungkapan perasaanku waktu dulu buat seseorang, tepatnya sahabat yang nun jauh di sana,, abisnya terlalu banyak kenangan yang terukir indah bersamanya sih.. And gak tahu kapan lagi bisa terulang.. haha.. (alay dikit tak apa yeee...).. Tapi ya cuma ungkapan dari aku ke aku sendiri.. Gak mungkin aku kasih puisi ini ke orangnya langsung, mana berani.. Ntar dia mikir yang aneh-aneh lagi.. So, disimpan dalam hati ja deh... Gak perlu ada orang yang tahu.. hehe.. Lah, terus kenapa sekarang malah dipublikasikan? Pasti banyak yang nanya gitu, kan? Hmm...ya kalo sekarang sih udah beda... Zamannya udah berubah, perasaannya juga udah beda... Harga permen ja udah mulai naik.. (loh, gak nyambung ya, pemirsa...). Jadi ngerasa lucu aja pas buka-buka buku lama yang ternyata masih nyimpen puisi ini.. Kayak bernostalgila gitu deh.. hehe.. Ya mungkin cukup segitu aja ya ceritanya... hhuhu..***

Minggu, 02 Oktober 2011

_Di Balik Cerita Sahabat_


Oleh : Resha T. Novia

        April terkejut mendengar curhatan Jeremy. Ia menatap mata Jeremy, dan Jeremy balas menatap dengan perasaan yang bingung.
            Mata April mulai tarlihat berkaca-kaca, sehingga membuat Jeremy panik.
            “Pril, elo kenapa?” Tanya Jeremy yang panik dan sekaligus bingung.
            Tanpa menjawab pertanyaan Jeremy, April langsung berlari dan meninggalkan Jeremy yang semakin kebingungan dengan tingkah April.
            April terus berlari tanpa menghiraukan sahabatnya itu, Jeremy. Hingga nafasnya terengah-engah dan kemudian berhenti di taman belakang dekat gudang peralatan yang berada di dalam kampus.
            Suasana di taman itu begitu sepi, tentu saja karena jarang sekali mahasiswa yang datang ke tempat itu. Paling-paling penjaga kampus dan mahasiswa yang sedang ingin menyendiri, seperti April.
            Air mata April tak bisa tertahan lagi, ia pun menangis memecah keheningan.
            “Selama ini elo nggak pernah tahu sama perasaan gue yang sebenarnya, gue sakit kalo harus ngedengerin curhatan elo tentang cewek yang elo taksir. Itu nyakitin hati gue….” Ucap April, mengeluarkan isi hatinya pada alam yang menemaninya. “Dan lebih sakit lagi pas tadi elo bilang kalo elo mau nembak cewek itu. Apa elo nggak pernah sadar, kalo selama ini gue suka sama elo, Jer?’ Lanjutnya, dalam tangis.
            April terus menangis, mungkin dengan menangislah perasaannya akan sedikit terobati.
            “Gue harus gimana…?” Tanya April pada dirinya sendiri.
            “Semua masalah pasti ada jalan keluarnya.” Ucap seorang cowok yang entah dari kapan ada di belakang Apri.
            April terkejut dan pandangannya langsung tertuju pada cowok itu. Dengan gaya yang begitu cool, cowok itu duduk di samping April, dan kemudian matanya menatap wajah April.
            “Ngapain elo ngeliatin gue terus?” Tanya April.
            “Elo jelek banget yah kalo nangis!” Jawab cowok itu seraya memberikan tisu.
            April segera mengusap air matanya. Perasaannya sedikit malu saat itu. Entah kenapa perasaannya terasa lebih tenang.
            “Elo nggak usah kesel, marah-marah dan bahkan nyalahin diri elo sendiri. Elo juga nggak usah bingung gimana ngehadapin masalah elo. Jalanin aja semuanya tanpa harus ada beban, karena sebentar lagi elo akan tahu jawabannya.” Kata cowok itu, seolah-olah sudah tahu persis masalah yang sedang dihadapi April.
            “Elo kan nggak tahu masalah gue apa!!” Ucap April, agak ketus.
            “Siapa bilang?” Tanya cowok itu, seraya tersenyum. Terang saja membuat April begitu terkejut dan sekaligus heran.
            Cowok itu beranjak dari tempat duduknya dan mulai melangkahkan kakinya, sedangkan April masih kebingungan dan penasaran pada cowok itu yang mengetahui semua masalahnya.
            “Eh, tunggu!!” Ucap April, seraya membalikkan badannya. Tetapi cowok itu sudah tidak ada, terasa begitu cepat perginya.
            “Akhirnya gue nemun elo juga.” Ucap Jeremy, lega. “Tadi elo kenapa sih?” Tanya Jeremy kemudian, penasaran.
            “Elo tahu juga nggak ada gunanya.” Jawab April, ketus.
            Jeremy diam, ia bingung dengan sikap April yang berubah tiba-tiba.
            “Mmm… Pril, sebenernya ada yang mau gue omongin sama elo!” Kata Jeremy, agak ragu-ragu.
            “Sorry, gue mau ke kelas, kuliah udah mulai.” Jawab April, dingin. Dan langsung pergi menuju kelas.
            Jeremy benar-benar tak tahu harus bagaimana agar April mau mendengarkannya. Ia hanya terdiam, sampai jam kuliah selesai.
            April keluar dari kelas setelah kuliah selesai, dan Jeremy mencoba mengejarnya.
            “Pril, gue pengen ngomong sama elo!” Kata Jeremy seraya membuntuti April.
            April terus berjalan, tanpa menghiraukan Jeremy.
            “Pril…” Tahan Jeremy dengan menahan tangan April.
            “Lepasin tangan gue!!!” Bentak April seraya berusaha melepaskan tangan Jeremy.
            “Gue nggak bakalan ngelepasin tangan gue, sampai elo mau ngomong sama gue!!” Kata Jeremy, dengan nada suara yang sedikit meninggi.
            “Gue nggak ada WAKTU buat elo, GUE MAU PULANG!!!” April mulai emosi.
            “Pril, sebenernya elo kenapa sih?” Tanya Jeremy. “Hari ini elo kayak bukan April yang gue kenal.” Lanjutnya.
            “Gue capek terus-terusan dengerin curhatan elo tentang cewek itu. GUE CAPEK…!!!” Jawab April dengan nada tinggi, emosi. “Elo nggak pernah coba ngertiin perasaan gue, elo tuh egois!!” Lanjutnya, nada suaranya mulai melemah karena April mulai meneteskan air mata.
            Jeremy memeluk April, tangisan April melebur di dada Jeremy.
            “Gue minta maaf, kalo selama ini gue egois. Tapi asal elo tahu nggak ada satupun cewek lain yang gue suka, kecuali elo. Ya, karena hanya elo yang gue suka. Dan semua curhatan gue sama elo tentang cewek itu, semuanya hanya nyeritain tentang elo. Tapi elo nggak pernah sadar. Gue sayang sama elo, April!” Kata Jeremy, saat ia memeluk April. “Itu yang pengen gue omongin sama elo dari tadi.” Lanjutnya.
            April terkejut, ia sangat tak menyangka semua itu bisa terjadi. Kini tangisannya berubah, bukan tangisan kekesalan lagi tapi berubah menjadi tangisan kebahagiaan.
***
            Tidak terasa sudah satu minggu ini April dan Jeremy resmi jadian.
            “Hari ini kamu ikut aku ke rumah Tanteku ya.” Pinta Jeremy. Kini mereka nggak ngomong gue atau elo lagi, tapi berubah jadi aku dan kamu. Setelah jadian pastinya.
            “Aku malu ah!” Jawab April.
            “Ayo dong sayang, please….!!!” Bujuk Jeremy, seraya masang wajah memelas.
            Akhirnya April mengangguk.
            Sampai di rumah Tantenya Jeremy, April dikenalkan. Melihat keluarga Jeremy yang welcome sama siapa saja bikin April senang and ngerasa nggak minder. Kalau dengan orangtua Jeremy nya sih nggak usah ditanya lagi coz dari masih sahabatanpun udah deket banget. Bahkan kedua orang tua Jeremy dan April pun udah pada kenal, apalagi pas mereka tahu kalau anaknya pacaran mereka malah senang banget. Udah nggak ada hambatan lagi deh!
            “Udah berapa lama nih kalian jadian?” Goda Tante pada April saat Jeremy ke belakang.
            “Ih, Mamah pengen tahu aja urusan anak muda.” Kata suaminya, alias Omnya Jeremy.
            Tante tersenyum. Pipi April saat itu sedikit memerah. Tetapi untung saja Jeremy cepat kembali.
            “Kalo gitu, sekarang Tante sama Om yang ke belakang soalnya kita kan nggak mau ngeganggu anak muda.” Kata Tante seraya beranjak dari tempat duduknya.
“Ah Tante, bisa aja.” Ujar Jeremy.
Tante dan Om Jeremy pun masuk ke ruang tengah rumah.
“Wah, ini kumpulan album foto ya?” Tanya April saat melihat kumpulan album foto yang ada di lemari kaca ruang tamu, kumpulan album itu tersusun begitu rapi.
“Kalo mau lihat, sok aja!” Kata Jeremy. April pun mengambil salah satu album foto yang ada di lemari itu.
“Ini album foto keluarga besar kamu ya?” Tanya April saat melihat-lihat.
“Iya, wah kebetulan banget kamu ngambil album foto keluaga besar aku. Jadi aku bisa ngenalin semua keluaga aku ke kamu.” Jawab Jeremy.
Jeremy mengenalkan satu per satu keluarganya yang ada di album foto itu dan menceritakan karakter-karakter dari keluarganya.
Saat Jeremy menceritakan keluarganya yang ada dalam foto, tiba-tiba mata April tertuju pada sebuah foto. Foto seseorang yang sepertinya tak asing lagi di matanya. Tapi entah siapa.
“Dia Shendy, kamu kenal?” Tanya Jeremy saat menyadari mata April tertuju pada foto itu.
“Shendy…” Ucap ulang April. “Sebenarnya nggak kenal sih, tapi aku baru inget kalo aku pernah ketemu sama dia.” Jawab April, yakin.
“Kamu pernah ketemu sama dia?” Tanya Jeremy lagi, yang penasaran karena ternyata April pernah bertemu dengan sepupunya yang paling dekat dengan dirinya.
“Iya, aku benar-benar yakin kalo aku pernah ketemu sama dia.” Jawab April, kini ia lebih yakin.
“Dia itu, sepupu aku yang paling deket. Dari kecil kita nggak pernah bisa pisah. Sehari nggak ketemu rasanya ada yang kurang aja. Kayak soulmate gitu.” Kata Jeremy. “Oh iya, kapan kalian pernah ketemu?” Tanya Jeremy, penasaran.
“Seminggu yang lalu, pas aku diem di taman belakang deket gudang kampus. Tepatnya sih pas aku lagi ngambek sama kamu.” Jawab April.
Mata Jeremy membulat, ia terkejut mendengar jawaban April.
“Kamu kenapa?” Tanya April yang heran melihat ekspresi Jeremy.
“Ini nggak mungkin, Pril!” Kata Jeremy. “Kamu pasti salah orang. Shendy itu udah meninggal, dia meninggal tepat seminggu sebelum kita kenal, seminggu sebelum kita masuk kuliah. Dan itu kejadiannya  udah dua tahun yang lalu.” Lanjut Jeremy.
“Me…me…meninggal…?” April benar-benar terkejut.

Selesai… ^_^


Menggapai Mentari Esok

Oleh : Resha T. Novia

            Memahami makna kehidupan tak semudah membalikan kedua telapak tangan. Tetapi bersyukur untuk semua yang telah Tuhan beri untuk kehidupan kita, itu sangat penting. Karena hidup hanya sekali, tak akan pernah ada kesempatan kedua. Kecuali di akhirat kelak.
            Ya, bersyukur memang mudah untuk di ucapkan, tapi untuk dilaksanakan dan di terapkan dalam kehidupan sehari-hari sangatlah susah. Begitu pula yang dirasakan oleh Jaya, seorang advokat ternama. Dulu ia begitu susah untuk bersyukur, bahkan mengucapkannya saja begitu susah baginya. Tetapi satelah mengalami fase-fase dalam kehidupan, kini ia menjadi orang yang selalu bersyukur dengan segala yang Tuhan beri untuknya.
            Awal ceritanya, ia merasa sangat malu terhadap dirinya sendiri dan merasa minder pada semua orang. Itu semua di akibatkan ia mempunyai kekurangan, ia hanya mempunyai satu kaki, yang sebelahnya lagi hanyalah kaki palsu. Saat itu ia selalu menyalahkan Tuhan yang telah menciptakannya dengan kekurangan.
            “Tuhan nggak sayang sama Jaya!!” Ucap Jaya.
            “Kamu jangan bicara seperti itu, nak!! Tuhan sangat menyayangimu…” Kata Ibunya.
            “Kalo Tuhan sayang sama Jaya, Jaya nggak bakalan cacat, Jaya pasti punya kaki.” Suara Jaya makin meninggi, ia tak menerima dengan kondisinya yang seperti itu. “Jaya kan pengen jadi polisi.” Lanjutnya, matanya mulai berkaca-kaca.
            Ibu Jaya hanya menangis mendengar perkataan anaknya. Beliau tak tahu lagi harus memberikan pengertian seperti apa. Sejak kecil Jaya selalu mempertanyakan hal yang sama.
            “Jaya pengen kayak orang lain.” Ucap Jaya lagi, terus menangis.
            Ibu Jaya hanya bisa mendekap anaknya dalam pelukan. Beliau pun tak kuasa menahan tangis dan beban ini. Di tambah lagi, suaminya yang meninggalkannya begitu saja setelah Jaya lahir dengan anggota badan yang tak lengkap. Tepatnya tujuh tahun yang lalu.
***
            Di usia Jaya yang ke-17, Jaya masih belum bisa menerima kondisinya. Bahkan ia malah menjadi seorang anak yang tak punya rasa percaya diri. Ia selalu memandang bahwa hanya dirinya yang tak seberuntung yang lainnya.
            Suatu ketika, Jaya mulai mengenal jatuh cinta. Tetapi sayang, orang yang yang ia suka menolaknya mentah-mentah. Dan lagi-lagi Jaya menganggap bahwa hidupnya sangat tak berguna.
            “Udahlah, cewek itu masih banyak. Aku yakin, kamu pasti bisa dapetin cewek yang 100 kali lipat lebih baik dari dia.” Kata Sandy, sahabat Jaya dari sejak kecil.
            “Tapi nggak akan ada satupun cewek yang mau deket sama aku.” Ucap Jaya, putus asa.
            “Sebenarnya kamu itu lebih beruntung dari pada aku. Tapi kamu nggak pernah sadar sama kelebihan kamu.” Kata Sandy. Jaya hanya diam, tak mengerti. Karena Jaya tak tahu apa kelebihannya yang di maksud oleh Sandy.
            Sampai lulus SMA, Jaya tak pernah melirik wanita lagi. Ia mulai menerima semua takdir yang Tuhan berikan padanya. Nasihat Ibunya dan sahabatnya yang bernama Sandy mulai ia turuti. Dan dalam hidupnya kini yang paling berharga hanyalah Ibu dan sahabatnya itu.
            “Jadinya kamu kuliah di mana?” Tanya Sandy, saat mereka lulus SMA.
            “Belum tahu, tapi yang jelas aku mau nyoba dulu tes ke PTN.” Jawab Jaya.
            Sandy tersenyum. “Baguslah.” Ucap Sandy. “Tapi itu kemauan kamu kan?” Tanya Sandy.
            Jaya mengangguk. “Aku udah sadar, kalo aku nggak mungkin jadi polisi. Mangkanya pilihan ini aku ambil.” Jawab Jaya, terlihat begitu tegar dan mulai bisa menerima apa adanya.
            “Aku dukung kamu, kamu pasti bisa!!” Ucap Sandy.
            “Eh, kalo kamu mau lanjutin ke mana?” Tanya Jaya.
            Sandy menggeleng. “Aku mau istirahat.” Jawab Sandy.
            Jaya merasakan sesuatu yang aneh pada diri Sandy. Padahal selama ini yang Jaya tahu, semangat Sandy begitu menggebu-gebu untuk kuliah. Tapi entah kenapa, dengan tiba-tiba Sandy mengurungkan niatnya untuk kuliah. Sandy tak member tahu alasannya pada Jaya.
***
            Jaya lulus di sebuah PTN di kota Bandung. Tetapi saat itu pula Jaya harus bisa menerima perpisahan dengan sahabatnya yang pindah ke kota Jakarta. Semua kabar itu ia terima bersamaan. Ia begitu bahagia bisa lulus di sebuah PTN, tapi di sisi lainnya ia merasa sedih karena akan berpisah dengan sahabat yang selalu memberikannya dukungan dan dorongan dalam hidupnya. Ya, karena Sandy adalah orang ke dua yang paling penting dalam hidupnya setelah Ibu.
            Dan hari-hari baru Jaya lalui dengan stamina baru. Ia tak pernah lagi memikirkan kekurangannya. Yang ia pikirkan kini hanyalah cara untuk membahagiakan dan membanggakan Ibunya, juga sahabatnya. Ia tak lagi seperti Jaya yang dulu, Jaya yang tak pernah bersyukur, Jaya yang tak pernah percaya diri, Jaya yang selalu menganggap hanya dirinya orang yang tak beruntung di dunia ini.
            Di tahun pertama, Jaya mulai bisa beradaptasi dengan dunia kampus, dunia yang berbeda dengan dari yang sebelumnya. Dan di tahun pertama itu, Jaya di percaya menjadi ketua kelas. Di mulai dari hal yang terkecil, untuk mencapai ke yang lebih maksimal. Itulah prinsip dalam hidupnya kini.
            Tetapi, di tahun pertama pula, sebuah kabar buruk datang padanya. Sahabatnya, Sandy, meninggal dunia karena kanker hati. Penyakit yang selalu Sandy rahasiakan di hadapan Jaya. Perasaan kehilangan sangat Jaya rasakan. Ia sangat menyayangkan kenapa selama ini ia tak pernah tahu dengan penyakit sahabatnya. Mungkin inilah penyebab Sandy mengurungkan niatnya untuk kuliah. Karena itulah, di hadapan batu nisan Sandy, Jaya berjanji tak akan menyia-nyiakan kuliahnya. Dan ia berjanji akan selalu berjuang untuk mendapatkan keberhasilan demi Sandy.
            Di tahun selanjutnya, tahun ke dua kuliah, Jaya mulai masuk sebagai anggota senat fakultas. Ia di percaya untuk memegang sebuah kepala bidang dalam senat.
            Dengan kerja keras, ketekunan, dan kemauan yang keras, di tahun ke tiga Jaya kuliah, ia dicalonkan untuk menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Dan tidak di sangka, ia terpilih. Ia begitu bersyukur karena ia dapat di percaya oleh rekan-rekannya, bahkan dosen-dosennya.
            Dan di tahun ke empat, saat ia lulus kuliah dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum, ia mendapatkan nilai yang terbaik. Nilai yang terbaik tak hanya di peroleh saat itu, tetapi di tahun-tahun sebelumnyapun ia selalu mendapatkan nilai yang terbaik.
            Setelah mendapat gelar yang ia perjuangkan selama empat tahun, ia melanjutkannya dengan study untuk dapat menjadi seorang advokat. Dan barulah setelah ia lulus dari study itu, ia bisa benar-benar menjadi seorang advokat.
***
            Jaya membuka sebuah kantor advokat. Saat itu Jaya sangat berharap bisa sukses sebagai advokat. Dan tak di sangka-sangka, impian Jaya selama ini menjadi kenyataan. Ia menjadi seorang advokat yang professional. Banyak orang-orang penting yang mengandalkannya dan percaya dengan kemampuannya. Itulah modal penting bagi Jaya.
            Hidup Jaya memang seperti mimpi, tapi itulah yang dirasakan Jaya setelah berjuang melawan hidup yang tak pernah berhenti dari cobaan. Dan hidup Jaya menjadi lebih berarti setelah ia menyadari makna hidup yang sebenarnya.
            Jaya tak pernah lagi melihat hidupnya yang lalu-lalu. Yang ia pikirkan kini hanyalah bagaimana cara untuk menggapai mentari esok dalam kehidupan nyata yang ia jalani. Dan semua itu ia persembahkan untuk Ibu dan sahabatnya.
            Sebuah kesuksesan yang di awali dengan kemauan, serta dorongan dari orang terdekat menjadi kunci utama bagi hidup Jaya.
            Dan semangat Jaya untuk membahagiakan orang di sekelilingnya akan tetap jaya sampai kapanpun…

The end…





 ***Cerpen ini masuk dalam buku 5 antologi "Be Strong, Indonesia !" yang diterbitin NulisBuku.com*** 
yang kafernya ini nihhh...