Aku
jatuh cinta. Cinta ini bukanlah cinta biasa Karena aku jatuh cinta pada hantu.
Ya, dia benar-benar hantu. Kalian pasti merasa aneh dan bertanya-tanya. “Mana
mungkin?” Pasti itu yang pertama kalian ucapkan. Namun, ini sungguh nyata.
Aku
bertemu dengannya sekitar tiga bulan yang lalu. Saat itu, aku melihat sebuah
kecelakaan maut terjadi di ruas jalan raya Setia Budi. Kecelakaan itu merenggut
beberapa korban. Yang kutahu, kecelakaan itu diakibatkan sang sopir bus
berusaha menghindari sebuah mobil yang hampir saja ditabraknya. Namun naas, bus
itu malah masuk jurang. Sedangkan penumpangnya adalah rombongan mahasiswa yang
baru saja selesai melaksanakan study
banding dengan universitas di luar kota.
Saat
itu, aku tak hanya melihat kejadian naas itu. Dengan upayaku, aku berusaha
membantu para polisi untuk mengevakuasi para korban. Karena, jumlah polisi saat
itu sedikit. Ya, karena kebanyakan polisi sedang bertugas menjaga istana
Presiden yang sedang kedatangan tamu penting.
Setelah
aku selesai menolong para polisi untuk mengevakuasi korban kecelakaan itu, aku
pun bergegas pulang, tanpa tahu berapa jumlah korban yang selamat dan yang
tidak selamat. Oia, mungkin saat itu, penampilanku berubah menjadi seperti
seorang pembunuh yang baru saja memutilasi korbanya. Bagaimana tidak, baju
kemeja putihku, kini terkena bercak-bercak darah dari para korban. Aku pun
segera membersihkan tubuhku dan juga baju kemeja yang kupakai.
+++
“Tok
tok tok tok…” Suara ketukan pintu dari luar kamar kos ku.
Mataku
mengarah ke arah jam dinding, jam setengah satu malam. Aku tak tahu siapa yang
datang selarut ini, namun yang jelas, aku pasti akan membukakan pintu kamar kos
ku itu. Terkadang karena kelakuanku yang ini, teman-temanku mengkhawatirkanku.
“Kamu tuh terlalu baik, San. Gimana kalo yang kamu bukain itu bukan aku, maling
misalnya atau setan?” Agus bahkan pernah melontarkan kata-kata seperti itu
untukku. Tapi aku tak pernah tega jika harus membiarkan orang di luar sana
menunggu. Maling dan setan kan tidak mungkin mengetuk pintu dulu.
Aku
mulai membukakan pintu kamar kos ku. Tanpa melihat dari jendela siapa yang
datang.
Sungguh
terkejut saat kubuka pintu itu. Sesosok gadis cantik berdiri tepat di
hadapanku. Namun, gadis itu nampak terlihat pucat.
“Kamu
cari siapa ya?” Tanyaku pada gadis itu.
Gadis
itu hanya melempar senyuman kecil yang begitu manis. Yang tak akan pernah
kulupakan sampai kapanpun. Namun setelah gadis itu melemparkan senyum padaku,
tiba-tiba saja ia jatuh pingsan. Dengan perasaan panik, aku segera menolongnya,
ku angkat tubuhnya dengan sekuat tenaga, dan kubawa masuk ke dalam kamar kos
ku. Kubaringkan ia di atas kasur lepek dan dekil yang entah sudah berumur
berapa, yang kubawa dari kampung.
Tubuh
gadis itu terasa sangat dingin saat kuangkat, mungkin dia sedang kedinginan.
Pikirku. Kuselimuti saja tubuhnya dengan selimut paling tebal yang aku punya.
Sementara
aku, membuatkan teh manis hangat untuk gadis itu minum jika sadar nanti.
Aku
duduk di atas kursi meja belajarku seraya memandangi gadis itu. Menunggu gadis
itu sadar dan segera kuantarkan ke rumahnya, agar orang tuanya tak khawatir.
Namun, berjam-jam gadis itu tak sadar-sadar. Hingga aku pun ketiduran di atas
meja belajar yang sebenarnya terlalu sesak karena banyak buku yang menunpuk.
+++
Matahari
sudah terbit menyinari jendela kamarku hingga tembus ke dalam kamarku. Aku
segera bangun, karena sorot matahari itu tepat ke arahku.
Saat
ku bangun, mataku langsung tertuju pada kasur lepek dan dekil ku itu. Namun,
tak kudapati gadis yang semalam kutolong. Bahkan kasur itu kini sudah tertata
dengan rapi, meski tetap lepek dan dekil.
Aku
segera melihat ke kamar mandi, namun gadis itu tetap tak ada. Kucari keluar sekamir
kamar kos, namun tetap tak ada pula. Aku heran. Namun kubiarkan saja seakan tak
terjadi apa-apa. Lagi pula aku harus berangkat ke kampus karena hampir telat.
+++
Setelah
malam itu, aku selalu membayangkan gadis yang datang ke kosanku. Aku masih
penasaran kenapa dia datang tiba-tiba dan pergipun secara tiba-tiba.
Hingga
beberapa hari kemudian, di suatu malam yang cukup sunyi. Aku bertemu dengannya
di perempatan jalan menuju tempat kos ku. Aku tak tahu sedang apa dia berdiri
sendiri di sana. Padahal malam semakin larut, dan tak baik jika seorang gadis
berdiri sendiri di tempat sepi. Hhmm… perhatianku ini bukan karena aku mulai
menaruh hati pada gadis itu, tapi karena aku juga mempunyai adik perempuan di
kampung sana. Saat itu kan aku belum menyukainya.
Kuhampiri
gadis itu. Semakin dekat, wajah cantiknya semakin terlihat pucat.
“Hey!”
Sapaku pada gadis itu.
Awalnya
aku tak berani menyapanya, oh tidak, lebih tepatnya, aku malu untuk menyapanya.
Tapi rasa penasaranku ini, membuat rasa maluku tertutupi.
Gadis
itu menatapku. Sungguh saat itu aku sangat terkagum-kagum akan kecantikannya.
Tapi aku terus berusaha menyembunyikan rasa kagumku pada kecantikan gadis itu.
Setidaknya agar aku tak disebut kampungan. Ya, kampungan karena seperti orang
yang baru pertama kali melihat gadis cantik.
“Kamu
lagi ngapain?” Tanyaku, lebih memberanikan diri.
Kulihat
gadis itu tersenyum manis padaku. Sungguh, senyumnya begitu manis. Ia bagai
bidadari yang baru turun dari surga.
“Gak
baik loh cewek diem sendirian di pinggir jalan gini, apalagi ini udah malem.
Mendingan pulang ke rumah aja.” Lanjutku sok akrab. Tak peduli akan anggapan
cewek itu. Yang pasti aku memang mengkhawatirkannya yang hanya sendiri di malam
sesepi ini.
“Kamu,
yang semalam nolong aku kan?” Tanya gadis itu.
Aku
mengangguk malu. Tak kusangka ia masih mengenaliku, walau ia hanya sepintas
melihatku sebelum ia tak sadarkan diri karena pingsan.
“Makasih
ya…” Ucap gadis itu, begitu lembut seraya melemparkan senyum tipis.
Aku
kembali mengangguk.
“Aku
Raya…” Ucapa gadis itu kemudian, seraya menyodorkan tangan kanannya padaku.
“Sandi…”
Balasku, seraya membalas jabat tangan perkenalan itu.
Suasana
kembali terasa hening, hanya angin malam yang bicara tentang sebuah cerita yang
kan dimulai.
+++
Malam
itu pun menjadi awal pertemanan kami. Ya, antara aku dan gadis cantik yang
kuketahui bernama Raya.
Dari
hari ke hari, kami sering membuat janji dimana aku dan Raya pergi bersama. Kami
memang banyak kesamaan. Kami suka tempat-tempat yang berbau dengan alam. Kalau
tidak, kami lebih suka pergi ke sebuah toko buku yang jaraknya tak begitu jauh
dari tempat kos ku. Atau pergi ke toko DVD, mencari film-film seru dan kami
menontonnya di tempat kos ku.
Hari-hari
yang indah bagiku, karena aku seakan mendapat seorang teman yang benar-benar
cocok.
“Ih,
jangan nonton film hantu dong, aku gak
suka…” Protes Raya saat aku dan dia memilih-milih DVD yang akan kami tonton.
“Tapi
ini kayaknya seru, lagian kayaknya gak begitu serem kok.” Aku berusaha
meyakinkan Raya agar mau menonton film hantu.
Raya
tak bicara, ia hanya menggelengkan
kepala dengan ekspresi ketidaksukaannya. Ia cemberut.
“Iya
deh, kita nonton film ini aja.” Ucapku seraya menunjuk salah satu film yang
ingin Raya tonton. Ya, aku mengalah. Aku memang mulai luluh pada Raya.
Setelah
selesai memilih DVD, aku dan Raya kembali ke tempat kos ku. Kemudian setelah
sampai di tempat kos ku, aku menyiapkan beberapa makanan ringan yang akan kami
makan sambil nonton film yang sudah kami beli.
Dan
semua yang kulewati bersama Raya, sangatlah berkesan untukku.
+++
“Hari
ini aku pengen banget pergi ke Anyer. Kamu mau kan temenin aku?” Kata Raya,
agak membujukku.
Dan
lagi-lagi, aku tak bisa menolaknya. Seakan kata “TIDAK” sudah hilang dari kamus
hidupku setelah mengenal Raya.
Aku
mengangguk.
Raya
tersenyum bahagia, dan tiba-tiba ia mencium pipi kiriku. Saat itu hatiku seakan
melayang entah kemana. Rasanya semua seperti mimpi. Namun, aku tak bermimpi.
Mungkin menurut kalian aku ini berlebihan alias lebay. Tapi inilah yang aku rasakan. Ya, karena ini adalah
pengalaman pertamaku begitu dekat dengan seorang perempuan, dan bahkan sampai
dicium. Hmm… karena sebelumnya, aku hanyalah seorang cowok yang kaku, oleh
sebab itu tak banyak perempuan yang enggan mendekatiku.
Back to story. Hari
itupun aku dan Raya pergi ke Anyer. Raya terlihat begitu senang, bahkan ia
menarikku dengan penuh semangat agar menemaninya bermain pasir pantai. Selain
itu, kami juga mengabadikan kebersamaan kami dalam handphoneku.
“Thank you ya, kamu udah mau nemenin aku
ke tempat yang mau aku datengin.” Ucap Raya padaku saat dalam bus perjalanan
pulang.
Tak
lama, Raya pun mulai tertidur dalam bus. Dan aku memberanikan memegang kepalanya
untuk menyandarkannya ke atas bahuku. Aku merasa sangat damai saat itu.
Tak
sampai dua jam, kami sudah sampai di kota kami. Saat itu sudah sangat larut,
dan aku berniat untuk mengantarkan Raya pulang hingga rumahnya. Namun aneh,
Raya menolaknya.
“Nggak
usah dianter San, aku bisa kok pulang sendiri. Lagian rumahku nggak begitu jauh
dari sini.” Ucap Raya, tetap tak mau diantar pulang olehku.
Meski
aku khawatir, akhirnya dengan terpaksa aku membiarkan Raya pulang sendiri atas
kemauannya. Aku tak mau memaksakan kehendak yang aku mau, karena aku takut jika
Raya mulai tak nyaman dengan sikapku.
+++
Bagiku,
waktu seakan cepat bergulir setiap aku melewatinya bersama Raya. Entah kenapa,
hari-hariku semakin terasa berwarna. Aku benar-benar bahagia. Dan aku mulai
yakin dengan perasaan yang tumbuh perlahan di dalam hatiku. Ya, aku mulai
mencintai Raya, dan rasa cinta itu semakin hari semakin bertambah hingga aku
sendiri pun tak bisa mendeskripsikan rasa cintaku ini.
Aku
memang seperti orang bodoh yang mencintai seseorang tanpa tahu siapa dia. Tanpa
tahu asal usul dia, dan tanpa tahu semua yang ia juga rasakan padaku. Tetapi
aku memang benar-benar mencintai dia dengan setulus hati, tanpa meminta imbalan
apapun atas rasaku ini. Biarkan semua apa adanya. Mengalir sepertia air, meski
banyak liku namun tetap diterjang tuk mencapai hilir.
“Nggak
tahu kenapa, aku kok ngerasa nyaman ya kalo lagi sama kamu?” Ucap Raya,
tiba-tiba. Saat kami berada di sebuah taman kota di ujung sore.
“Kamu
suka kali sama aku.” Celetukku, bercanda tapi serius. Aku ingin tahu bagaimana
ekspresinya.
Raya
tersenyum geli. Mungkin ia sudah bisa mendengar celetukkanku yang kadang apa
adanya, kadang kelewatan, kadang super narsis, kadang cuek, kadang gokil, dan
kadang bikin Raya malu.
“Iya
kali ya…” Balas Raya seraya melepas tawa.
“Ah,
kamu kok malah ketawa sih, aku kan gak ngelucu.” Ujarku.
“Abisnya,
kamu sihhh…” Ucap Raya seraya berusaha menahan tawanya itu.
“Mmm…
Raya…” Aku mulai serius. Saat itu aku mulai mengungkapkan perasaanku kepada
Raya. Dengan harapan besar yang kutanamkan pada Raya.
“Apa?”
Tanya Raya, namun ia tak memandang ke arahku. Ia malah asyik dengan komik yang
sedang ia baca.
“Kalau
aku suka sama kamu gimana?” Tanyaku pada Raya.
Kulihat
Raya tiba-tiba saja langsung terdiam. Ia menutup komik yang sedang ia baca.
Namun matanya tak mengarah padaku. Ia malah menundukkan kepalanya seakan tak
ingin menbahas apa yang aku tanyakan padanya.
“Ra…”
Ucapku, lirih.
Sambil
tertunduk, Raya menggelengkan kepalanya. “Kamu nggak boleh suka sama aku, San.”
Ucapnya, pelan dan datar. Namun ia masih tetap tak memandangku.
“Kenapa,
Ra?” Tanyaku heran.
Saat
itu aku merasa sudah merusak suasana keceriaan di hari itu.
“Kamu
nggak boleh suka sama aku…” Ucapn Raya lirih, namun aku tetap mendengarnya
dengan jelas. “Gak boleh…” Lanjutnya dengan suara yang mulai bergetar.
Aku
terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Aku sadar, kalau aku memang tidak cocok
untuk Raya. Namun batinku ini terasa menangis. Sedih…
Raya
terus menunduk, ia seakan tak mau menatapku.
“Hmm…
Itu cuma sekedar ungkapan hati aku aja kok, Ra… Jangan kamu anggap ya…” Ucapku,
berusaha mencairkan suasana kembali.
Raya
mengangguk.
Aku
heran, kenapa Raya terus saja menunduk. Dengan sedikit keberanian yang
kumiliki, aku mulai memegang tangan Raya. Namun aneh, saat itu kurasakan
tangannya sangat dingin.
“Ra,
tangan kamu kok dingin banget?” Tanyaku khawatir.
Raya
hanya menggelengkan kepalanya.
Dengan
perlahan kuangkat wajahnya dengan tangan kananku. Dan oh tidak, wajahnya sangat
pucat. Lebih pucat dari hari-hari bisaanya.
“Kamu
sakit, Ra?” Tanyaku, kali ini kekhawatiranku bertambah seribu kali lipat.
Raya
menggelengkan kepalanya seraya tersenyum tipis. Namun, tetap saja aku khawatir.
“Aku
anter kamu ke dokter ya?” Aku tak bisa tinggal diam melihatnya begitu pucat.
Aku
pun segera membuka jaket yang kupakai, dan kuberikan pada Raya.
“Aku
nggak apa-apa. Aku cuma butuh istirahat. Aku pulang aja.” Ucap Raya, dengan
nada suara yang begitu lemah.
“Kalo
gitu aku anterin kamu ya…”
Namun,
Raya tiba-tiba memegang tanganku.
“Nggak
usah… kamu pulang aja, aku gak apa-apa kok…” Balas Raya.
Raya
pun mulai melangkahkan kakinya perlahan. Ia benar-benar tak mau aku antar,
padahal aku sangan mencemaskan keadaannya. Ada yang sedang tidak beres dengan
kesehatannya.
Dengan
berat hati, aku pun pulang ke tempat kos ku setelah langkah Raya menjauh, dan
akhirnya tak terlihat lagi.
+++
Setelah
sore itu, Raya tak pernah ada kabar. Bahkan aku tak tahu bagaimana keadaannya.
Aku sangat ingin mencarinya, tapi entah harus mencari ke mana. Aku bahkan tak
tahu di mana rumahnya. Aku mulai gila.
Hingga
suatu malam, saat aku benar-benar merindukan Raya, aku teringat foto-foto yang
kami ambil di Anyer. Ya, saat itu aku segera membuka folder foto-foto yang ada
dalam handphoneku.
Namun,
ketika aku membuka satu persatu foto itu, darahku seakan berhenti, tubuhku
lemas, dan dadaku terasa sangat sesak. Ada yang aneh pada foto-foto itu. Ya,
semua foto hanya memuat gambarku, dan tak ada satupun gambar Raya. Padahal kami
selalu difoto bersama. Ini sungguh aneh. Aku hanya difoto sendiri, namun di
setiap foto seakan ada seseorang yang menemaniku. Tentu saja ada yang
menemaniku, Raya. Ahhh… aku benar-benar gila…
Malam
itupun aku tidak tidur sama sekali, aku seperti baru kehilangan semangat hidup,
dan yang kuinginkan adalah mati. Aku merasa bahwa aku tak bisa hidup tanpa Raya.
Ya, itu yang kurasakan, dan rasa itu tidak kulebih-lebihkan sama sekali.
Di
pagi hari yang lumayan cerah, aku pergi meninggalkan tempat kos ku. Entah
kenapa langkahku tertuju pada toko DVD yang sering aku dan Raya kunjungi untuk
membeli DVD.
Saat
aku masuk ke dalam toko itu, seorang penjaga toko tersenyum ramah padaku. Aku
pun tak segan membalas senyumannya itu. Lalu kuhampiri penjaga toko itu, karena
aku begitu ingin memastikan sesuatu.
“Pagi,
Mas!” Sapaku ramah.
“Iya
pagi.” Balas penjaga toko itu yang juga ramah. “Ada yang bisasaya bantu?”
Tanyanya, kemudian.
Aku
terdiam sesaat, namun aku tak bisa seperti ini. Aku harus benar-benar
memastikan semuanya. “Sebelumnya saya minta maaf jika pertanyaan saya aneh,
tapi saya benar-benar ingin menayakan ini. Setiap hari Mas ini yang menjaga
toko kan? Mas selalu lihat saya jika saya datang ke sini?” Tanyaku.
“Iya,
saya memang setiap hari menjaga toko ini. Dan saya juga sering melihat Mas ini datang
untuk membeli DVD kan?” Jawab penjaga toko.
“Mas
tahu, selama ini saya suka datang dengan siapa kalo datang ke sini?” Tanyaku
lagi.
Kulihat
penjaga toko itu mengernyitkan dahinya. Mungkin ia merasa aneh dengan
pertanyaan yang aku lontarkan. Tapi aku tak peduli.
“Yang
saya lihat selama ini, Mas ini selalu datang sendiri.” Jawab penjaga toko.
Sontak
jawaban penjaga toko itu membuatku sangat terkejut. Aku tak percaya dengan
ucapannya.
“Apa
Mas ini serius? Apa Mas ini nggak pernah liat cewek yang selalu datang sama
saya? Ciri-cirinya kulitnya putih, rambutnya sepinggang lurus, cantik dan
lembut, apa Mas nggak pernah liat cewek itu?” Tanyaku lagi, penasaran.
Penjaga
toko itu semakin mengernyitkan dahinya. Kemudian ia menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Mas. Saya tidak pernah melihat perempuan yang Mas sebutkan tadi. Yang
saya lihat, setiap Mas datang, Mas ini selalu datang sendiri. Tapi kadang juga
saya ngerasa aneh. Soalnya kadang Mas ini suka kayak ngomong sendiri kalau lagi
milihin DVDnya. Maaf ya, Mas, saya ngomong kayak gitu.” Jawab penjaga toko
panjang lebar.
Aku
benar-benar tak percaya. Semua yang kualami seperti hanya aku saja yang
mengalaminya, tak ada yang tahu. Mungkin semua orang sudah menganggapku gila.
Ya aku memang gilaaa…
+++
Hari
terus berganti, dan Raya belum juga memberikan kabar padaku, apalagi menemuiku.
Meski semua orang mengatakan bahwa selama ini aku selalu sendiri dan tak ada
siapapun yang menemaniku, tetapi aku tetap yakin bahwa Raya memang ada. Dia
nyata. Walau terkadang aku takut jika semua ini hanya mimpi, takut jika Raya
hanya sosok halusinasiku.
Tanpa
semangat, lagi dan lagi. Aku berangkat ke kampus untuk kuliah. Sebenarnya aku
sedang tak ingin kuliah, tapi itu sudah menjadi tuntutanku sebagai mahasiswa,
dan untuk mempertanggungjawabkannya di hadapan orang tuaku.
Sampai
di kampus, dosen yang seharusnya mengajar di kelasku ternyata tidak ada. Beliau
hanya memberikan tugas dan bisa dikumpulkan esok harinya. Jika tahu sejak awal,
mungkin aku tak akan datang ke kampus.
Aku
pun duduk di sebuah kursi panjang di koridor kelas. Di sana juga ada
teman-temanku yang sedang berkumpul.
“Cantik
ya orangnya, moga aja cepet sembuh…” Ucap Doni saat melihat sebuah foto di laptopnya Rian. Awalnya aku tidak
tertarik untuk melihat foto itu. Tapi saat Rian menyebut nama “Raya”, aku
langsung merebut laptop Rian dan
kulihat foto itu.
“Raya…”
Ucapku saat melihat foto Raya yang ada di laptop
Rian. Tepatnya saat itu Rian sedang membuka Facebooknya
dan melihat album foto Raya.
“Kamu
kenal?” Tanya Rian padaku, namun tak langsung ku jawab. “Dia temen SMA aku.”
Lanjutnya.
“Terus
apa maksud dari kata-kata Doni tadi?” Tanyaku saat itu. Perasaanku benar-benar
tak menentu. Akhirnya aku yakin, bahwa Raya memang nyata.
“Kata
Rian dia lagi koma di rumah sakit, mangkanya aku doain dia moga cepet sembuh.
Kan sayang kalo cewek secantik itu harus meninggal cepet.” Jawab Doni. “Gitu
kan, Rian?” Tanya Doni ke Rian, Rian hanya mengangguk.
Sontak
hatiku seakan baru saja terbanting. “Raya
koma?” Tanyaku dalam hati.
“Sejak
kapan dia koma?” Tanyaku, dengan nada suara yang berat.
“Hampir
sebulan lah!” Jawab Rian.
“Deggggghhhhh…” Lagi-lagi, semua itu
membuatku terkejut. Mana mungkin Raya koma selama itu. Padahal aku baru tak
bertemu dengannya beberapa hari ini saja. Mana mungkin hampir satu bulan.
Selama hampir satu bulan itu kan waktu yang sama selama aku mengenalnya. Ya,
aku mengenalnya hampir satu bulan ini.
Aku
menatap foto Raya tak percaya.
“Dia
koma kayak gitu karena kecelakaan bus yang ditumpanginya masuk jurang di daerah
jalan Setia Budi. Yang aku dengar bus itu rombongan study tour. Di bus itu ada 40 orang mahasiswa, 18 orang meninggal,
yang lainnya luka-luka dan sempat ada yang koma, cuma sekarang yang laennya
udah pada siuman. Tinggal Raya aja yang sampe saat ini belom siuman. Malahan
pas 2 hari yang lalu aku ke sana, dia keadaannya makin kritis.” Rian
menceritakan semuanya.
“Kecelakaan
di Jalan Setia Budi, mungkinkah kecelakaan yang waktu itu?” Batinku bertanya.
“Rumah
sakit mana?” Tanyaku.menahan tangis.
“Rumah
sakit Medika.” Jawab Rian.
Saat
itu pula aku langsung berangkt ke Rumah Sakit Medika. Aku tak ingin melewatkan
waktu untuk bisa bertemu lagi dengan Raya. Dan aku belum percaya jika Raya
sudah koma selama itu.
Aku
pergi ke bagian informasi, hingga kudapatkan kamar yang merawat pasien yang
bernama Raya, Raya Keila Sagita lengkapnya.
Setelah
aku menemukan kamarnya, langkahku seakan terpaku di depan pintu. Berat jika
memang benar yang ada di dalam kamar itu adalah Raya yang selama ini kukenal.
Tiba-tiba,
seorang perempuan paruh baya keluar dari kamar itu dan melihatku yang berdiri
terpaku di depan kamar.
“Kamu
temannya Raya?” Tanyanya dengan begitu lembut.
Aku
hanya mengangguk.
“Masuk
saja.” Ucap wanita paruh baya itu. Wajahnya mirip sekali dengan Raya. Bisa dipastikan beliau adalah ibunda Raya.
Dengan
langkah gontai, aku masuk ke dalam kamar itu. Dan langkahku semakin dekat
dengan tempat tidur berwarna putih yang diatasnya tertidur lemah seorang gadis
cantik yang sangat pucat.
Perlahan,
tak sadar aku mulai meneterskan air mata. Itu Raya. Aku yakin.
Aku
mulai memegang tangannya yang dingin dan diinfus. Kueratkan peganganku. Aku tak
ingin lagi kehilangan Raya. Meski mungkin Raya tak mengenaliku, karena selama
ini aku hanya mengenal sosok Raya yang tak nyata.
+++
Setiap
hari aku selalu menempatkan waktu untuk pergi ke Rumah Sakit dan menunggu Raya.
Aku ingin Raya cepat sembuh, dan kuulangi lagi hari-hari yang kan jadi nyata
bersama Raya.
“Ibu
sudah pasrah…” Ucap wanita paruh baya itu, terlihat tegar.
Aku
pun memeluk wanita paruh baya itu, karena aku merasakan kepedihan wanita itu.
Keluarga
Raya sudah mulai mengikhlaskan jika buruknya Raya harus pergi untuk
selama-lamanya. Mereka terlalu kasihan melihat kondisi Raya yang setiap hari
harus menerima jarum-jarum yang menyuntik tubuhnya, dan selang yang harus
membantunya bernafas. Namun, beda dengan diriku, aku belum bisa mengikhlaskan
diri jika harus mendapat kepastian terpahit dalam hidup ini. Aku ingin bisa
mengenal Raya lebih jauh, jauh, dan jauh lagi. Karena aku mencintai raya.
+++
Dari
hari ke hari, kondisi Raya terlihat lebih membaik. Aku pun mulai bisa bernafas
dengan lega. Aku ingin Raya cepat melewati masa sulit ini.
“Keadaannya
lebih membaik, tapi saya belum tahu apa perkembangan yang akan terjadi
selanjutnya.” Ucap dokter yang samar-samar terdengar olehku saat berbicara
dengan Ayah Raya.
Meski
belum ada kepastian mengenai kondisi Raya, tetapi dengan perlahan semangatku
mulai bertambah lagi. Ya, semua ini karena Raya. Aku jadi punya nafas baru tuk
hidup lagi.
Hingga
suatu ketika, aku mendapati Raya yang tersadar dari tidur panjangnya. Sungguh
bahagianya aku. Aku pun segera memanggil dokter untuk memeriksa keadaan Raya
dan menceritakan bahwa Raya sudah sadar. Kabar ini pun membuat keluarga Raya
sangat bahagia.
“Subhanallah, ini sangat luar biasa… dan
semoga kondisinya bisa bertahan dan bahkan bisa lebih baik lagi.” Ucap dokter setelah memeriksa keadaan Raya.
Aku
tersenyum bisa melihat Raya yang telah sadar. Meski Raya belum bisa mengenaliku.
Ya, mungkin Raya belum menyadari keberadaanku.
Esoknya,
esoknya dan esoknya, aku selalu datang ke Rumah Sakit hanya untuk Raya.
“Makasih
ya kamu udah nemenin aku selama ini…” Ucap Raya begitu lemah.
Aku
memegang tangannya. Kutatap matanya. Sungguh, aku tak menyangka jika akhirnya
aku bisa menatap mata indah itu lagi.
“Kamu
ingat aku?” Tanyaku memastikan.
Raya
mengangguk.
Aku
tersenyum. Aku yakin bahwa semua yang kualami bukanlah mimpi. Meski selama ini
aku hanya bergumam dengan rohnya saja.
+++
Pagi
itu matahari bersinar sangat cerah. Keadaan Raya pun begitu membaik. Hingga
kini nafasnya tak usah lagi dibantu dengan oksigen.
“Dokter,
sekarang aku boleh pergi ke luar kan?” Tanya Raya, dengan suara yang masih
lemah.
“Sebaiknya
jangan dulu, kondisi kamu saat ini belum pulih betul.” Jawab dokter.
“Hanya
kali ini saja, dok!” Ucap Raya, sangat memelas.
“Baiklah,
tapi kamu harus menjaga kondisi kamu, dan jangan terlalu lama di luarnya.” Ucap
dokter yang akhirnya membolehkan Raya ke laur. Dokter itu pun meninggalkan
kamar Raya.
“San,
bawa aku ke luar…” Pinta Raya padaku.
Aku
bingung saat itu, tidak mungkin rasanya jika aku harus membawa Raya ke luar
dengan kondisinya yang masih sangat lemah.
“Kumohon, aku ingin pergi ke taman…” Ucap Raya
lagi, sangat meminta.
Aku
tak langsung mengiyakan keinginan Raya. Mataku menoreh ke arah Ayah dan Ibu
Raya. Dan mereka menganggukkan kepalanya. Mereka mengizinkan kami pergi ke
taman.
Aku
mengangkat tubuh Raya dan mendudukkannya di atas kursi roda. Setelah itu,
kudorong kursi roda itu keluar dari kamar Raya.
“Aku
ingin pergi ke taman yang terakhir kita bertemu…” Pinta Raya.
Aku
sungguh dilema, karena tak mungkin aku membawanya ke taman tempat terakhir kami
bertemu, karena tempatnya terlalu jauh. Aku khawatir dengan kondisi Raya.
“Kita
ke taman ini saja ya.” Balasku, seraya menunjukkan taman yang masih di dalam
kawasan rumah sakit.
“Aku
mohon…” Lagi-lagi Raya memohon.
Dan
aku tak mau memutuskannya sendiri aku segera menelepon Ayahnya Raya, untuk
meminta persetujuan.
“Bawa
saja dia ke tempat yang ia mau. Biarkan
dia bahagia…” Ucap Ayah Raya di balik telepon. Nada suaranya terdengar
bergetar. Ya, beliau menagis.
Dengan
berat hati, aku membawa Raya ke taman yang ia mau, taman tempat terakhir kami
bertemu. Ya, taman di mana saat itu aku mengungkapkan isi hatiku pada Raya.
“Sandi…”
Panggil Raya, lirih.
Aku
pun segera menghampiri Raya dan berlutut di hadapannya. Agar aku bisa menatap
wajah cantiknya.
“Ada
apa?” Tanyaku, setelah aku tepat ada di hadapannya.
Tiba-tiba
Raya menggenggam tanganku. Kurasakan tangannya yang sangat dingin.
“Inilah
sebabnya kamu gak boleh suka sama aku.” Ucapnya, dengan suara yang bergetar.
“Aku akan mati…” Lanjutnya, yang kemudian diikuti dengan tangisan.
Aku
pun tak bisa menahan tangis. Aku memang cengeng,. Kuakui itu.
Dan
setelah itu, kami duduk berdua di kursi yang ada di taman. Rasanya aku seperti
kembali ke masa-masa indah bersama raya. Ya, masa-masa saat aku dan Raya duduk
di kursi itu dengan canda dan tawa.
“Hari
ini aku sangat bahagia. Terima kasih, San…” Ucap Raya.
Aku
mengangguk.
Saat
itu, aku melihat wajah Raya yang semakin memucat. Aku pun memintanya agar mau
aku ajak kembali ke rumah sakit. Meski sempat ia menolaknya, tapi akhirnya ia
mau kembali ke rumah sakit.
Aku
kembali mengangkat tubuhnya dari kursi, dan kududukkan kembali ia pada kursi
roda.
Aku pun mendorongnya kembali.
+++
Aku
duduk di kursi putuh yang berhadapan langsung dengan meja seorang dokter. Dan
di depanku juga ada seorang dokter yang tak begitu tua sedang menatap pilu
padaku. Aku tak tahu apa yang sedang ia lakukan.
Kulihat
ruangan di sekelilingku. Terasa asing. Namun, aku tak ingin bertanya pada siapa
pun akan tempat ini. Aku hanya ingin kembali ke masa lalu. Masa di mana aku
bisa bersama dengan Raya. Atau aku ingin sekali bunuh diri agar aku bisa menyusul
Raya ke alam sana. Aku takut Raya hanya sendiri di sana.
“Suster,
bawa dia kembali ke kamarnya.” Ucap dokter itu pada seorang suster. Dan
kemudian suster itu memegang tanganku dan mengarahkanku kembali ke sebuah kamar
yang di dalamnya hanya ada kasur berwarna putih.
“Mas
Sandi tidur di sini ya.” Ucap suster itu padaku. Dan aku hanya menurut pada
perkataannya.
+++
Kursi
roda itu terus kudorong, hingga aku tak sadar sebenarnya Raya sudah meninggalkanku
pergi untuk selamanya.
Aku
hanya bisa diam saat tanah itu menutup Raya untuk selama-lamanya. Aku meronta,
aku tak ingin Raya dikubur. Raya tak kenapa-napa. Ia masih seperti Raya yang
dulu. Air mataku terus menetes. Aku tak bias mengikhlaskannya pergi.
Beberapa
orang di sekitarku segera membawaku dan menenangkanku. Namun bayangan Raya
terus ada memenuhi otakku.
Sepulang
dari pemakaman Raya, aku pun pergi ke sebuah gedung yang cukup tinggi. Dan aku
mencoba melompat dari atap gedung itu. Berusaha mencari jalan agar aku bisa menyusul
Raya.
Selama
satu minggu aku mengalami koma. Dan setelah itu aku kembali sadar. Fisikku
kembali normal. Namun jiwaku tak sepenuhnya kembali.
+++
Lagi-lagi
aku berada di dalam ruangan yang sama, berhadapan dengan dokter itu lagi, menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang masih sama dan masih selalu menceritakan hal yang
sama, tentang Raya.
Ya,
kini aku berada di rumah sakit jiwa, dalam proses penyembuhan…
Tamat
n_n