Oleh : Resha T. Novia
Zia begitu senang, saat sahabatnya yang
bernama Nino akan datang mengunjunginya saat liburan kuliah nanti. Kenapa Zia
harus senang? Ya, itu karena Zia dan Nino sudah tidak bertemu selama satu tahun
terakhir. Mungkin bukan waktu yang terlalu lama, tapi bagi Zia satu tahun
adalah waktu yang begitu lama. Karena sebenarnya perasaan Zia pada Nino tidak
sekedar sayang pada sahabat, tapi perasaannya lebih dari itu. Hanya saja, tidak
ada satu orangpun yang tahu.
“Gue bener-bener udah nggak sabar, gue pengen
liat elo yang sekarang.” Ucap Zia dalam hati. “Semoga elo nggak berubah…”
Lanjutnya seraya senyum-senyum sendiri. Mungkin kalo orang lain liat, Zia bisa
disangka orang gila.
Detik demi detik, menit demi menit dan bahkan
hari demi hari Zia lalui dengan penuh pengharapan besar agar waktu lebih cepat
berlalu, sehingga liburan kuliah kali ini cepat datang. Tapi tetap saja, waktu
tidak bisa dipercepat, buktinya 1 menit masih 60 detik, 1 jam masih 60 menit
dan 1 hari masih 24 jam, bahkan 1 minggupun masih 7 hari… Yang jelas, Zia harus
sabar menunggu waktu itu tiba.
Dan akhirnya, penantian Zia nggak sia-sia.
Liburan datang dan Nino pun datang. Kebahagiaan Zia nggak bisa digambarkan
lagi. Tapi kebahagiaan Zia seakan lenyap seketika saat Nino mengenalkan seorang
cewek yang datang bersamanya dari Yogyakarta.
Zia kecewa and kesal banget sama Nino, Zia juga ngerasa jeales sama cewek yang dibawa Nino. Tapi nggak mungkin kalo Zia
nunjukin perasaannya itu, jadi dengan terpaksa Zia harus pura-pura seneng atas
kebahagiaan Nino yang udah punya pacar. Meski itu sangat menyakitkan.
“Zia…” Ucap Zia seraya membalas jabatan
tangan dari Jessi.
“Wah, ternyata elo nggak berubah sama sekali
ya, elo masih persis kaya Zia yang dulu.” Ucap Nino setelah melihat penampilan
Zia yang memang apa adanya.
Zia hanya tersenyum. Rasa kesalnya tetap coba
ia tutupi. Mungkin kekesalannya itu nggak akan hilang dengan cepat, karena Nino
dan pacarnya akan menginap di rumah Zia sampai mereka kembali pulang ke
Yogyakarta. Parah kan?
“Kok
rumah elo sepi sih?” Tanya Nino setelah masuk ke dalam rumah Zia. “Orangtua
sama Kak Zendra kemana?” Tanya Nino lagi.
“Mereka lagi ada di Bogor, pada liburan di
rumah eyang.” Jawab Zia.
“Elo kenapa nggak ikut?” Tanya Nino lagi.
“Gara-gara elo, gue nggak ikut.” Jawab Zia.
“Jadi, selama liburan, di sini Cuma ada kita dan Bi Marni.
Nino mengangguk.
Setelah itu, Zia mengantar Nino dan Jessi ke
kamar-kamar yang akan mereka tempati masing-masing selama berada di rumah Zia.
^_^
Liburan yang didambakan Zia harus musnah
begitu saja karena kehadiran Jessi yang merusak suasana. Bahkan liburan yang
didambakan Zia harus berbanding kebalik, karena liburan kali ini akan berubah
menjadi mimpi buruk Zia. Gimana nggak? Ngedadak banget Zia berubah seakan jadi tour guide buat Nino dan Jessi. Terutama
buat Jessi, coz baru pertama kalinya
dia datang ke Bandung. Bagi Zia ini benar-benar cobaan…
“Mmm…elo dari kapan temenan sama Nino?” Tanya
Jessi pada Zia, saat Nino tidak ada di antara mereka.
“Udah lama banget, mmm…kira-kira udah tujuh
tahunan lah.” Jawab Zia.
“Apa sedeket itu ya kalian temenan?” Tanya
Jessi lagi, ekspresi wajahnya mulai berubah. Seolah mencurigai sesuatu.
“Ya gitu deh, namanya juga sahabatan.” Jawab
Zia, cuek.
“Sebelumnya sorry banget ya gue nanya-nanya terus, tapi jujur aja gue nggak suka
sama kedekatan elo sama Nino. Gue pengen elo nggak usah terlalu deket deh sama
Nino, gue harap elo hargain gue sebagai pacarnya Nino.” Ucap Jessi.
Kata-katanya semakin membuat Zia kesal dan benci sama Jessi.
Zia menghela nafas, mencoba terus sabar. “Gue
nggak janji.” Ucap Zia, yang kemudian langsung masuk ke dalam rumah.
“Elo mau ke mana? Gue kan baru beli makanan kesukaan
elo!” Tanya Nino yang baru datang setelah membeli makanan yang disuka Zia.
“Katanya dia masuk angin, sayang. Mangkanya
dia cepet-cepet masuk kamar.” Serobot Jessi, sebelum Zia menjawabnya.
“Oh…” Nino percaya begitu saja.
Esok harinya, Nino meminta Zia untuk
menemaninya dan Jessi untuk berjalan-jalan di kota Bandung. Entah kenapa Nino
selalu meminta Zia untuk ikut menemaninya, padahal Nino sendiri sudah tahu
banget tentang kota Bandung, karena ia pernah tinggal selama 6 tahun di kota
kembang itu.
Mau di jalan, di kafe, di mobil, bahkan di
manapun, Zia seolah menjadi kambing conge. Ya, karena ia selalu di antara Nino
dan Jessi. Bahkan dengan terpaksa Zia harus melihat Nino dan Jessi yang
terkadang terlihat mesra. Mmm…bikin hati Zia panas aja!!
Pengen banget Zia marah-marah sama Nino dan
ngusir Jessi buat keluar dari rumahnya. Tapi semua itu nggak mungkin Zia
lakuin, karena ia masih menghargai Nino sebagai sahabatnya. Lagian kalo Zia
sampe ngusir Jessi, bisa-bisa Nino ngemusuhin dia. Bukannya maklah untung, tapi
malah buntung.
“Nino, gue pulang duluan ya…” Pinta Zia.
“Nggak, elo harus tetep temenin kita.” Kata
Nino.
Zia, Nino dan Jessi terus menyusuri
jalan-jalan di kota Bandung seraya berkuliner.
Tetapi, untung saja, tiba-tiba seorang teman
kuliah Zia menghampiri Zia.
“Hey, lagi ngapain elo di sini?” Tanya Tomy.
“Eh, Tom… Gue lagi nganter temen gue
jalan-jalan.” Jawab Zia.
“Baik banget elo jadi temen.” Ucap Tomy, yang
sadar kalo Zia lagi nganter orang yang lagi pacaran.
Zia memelototi Tomy, tapi Tomy malah ketawa
mesem.
“Mmm…Nino, gue ada urusan, gue boleh pergi
kan?” Kata Zia pada Nino tiba-tiba.
“Emangnya elo mau ke mana?” Tanya Nino.
“Gue ada urusan pribadi sama Tomy, sorry ya gue tinggal.” Jawab Zia yang
langsung pergi seraya menarik tangan Tomy agar ikut meninggalkan tempat itu
bersamanya.
“Sorry
ya, tadi gue pake nama elo biar bisa pergi.” Kata Zia.
“Iya, nggakk apa-apa lagi. Lagian masa sih
gue tega ngeliat elo jadi kambing conge kayak gitu.” Kata Tomy.
“Thank you,
Tom…” Ucap Zia.
“Eit, tapi ada imbalannya.” Kata Tomy, Zia
bingung. “Kapan-kapan elo harus mau kalo gue ajak jalan. Gimana?”
Zia bingung, tapi akhirnya ia menerimanya.
Karena nggak ada salahnya sekali-kali jalan sama cowok yang keren kayak Tomy.
Dan hari itupun Zia habiskan bersama Tomy,
mungkin itu lebih baik dari pada menghabiskan waktu bersama Nino dan Jessi yang
pacaran.
^_^
Hari pertama, hari kedua, hari ketiga, hari
keempat, hari kelima, hari keenam dan akhirnya hari ketujuh, seminggulah sudah Nino
dan Jessi berada di rumah Zia. Seminggu itu pun Zia menemani mereka. Tapi
untung saja di hari ke tujuh itu Jessi minta pulang sama Nino. Zia sih senang
kalo Jessi mau pulang, tetapi, Zia nggak tahu apa dia harus senang atau sedih
kalo Nino juga harus pulang. Seenggaknya yang Zia rasain ialah akan terbebas
dari mimpi buruk yang menjelma liburan itu.
“Thank
you yah udah mau nerima kita tinggal di rumah elo selama kita liburan.”
Kata Jessi, dengan nada bicaranya yang menyebalkan.
Zia hanya mengangguk, karena ia tak mau
mengeluarkan kata hanya untuk cewek yang nyebelin itu. Baginya, sebuah kata
begitu berarti dan akan dikeluarkan hanya untuk orang yang berarti. Dengan kata
lain, Jessi nggak berarti sedikitpun.
“Sorry
ya, gue udah ngerepotin elo.” Ucap Nino. “Gue juga thanks banget sama elo, karena elo mau nerima gue sama Jessi
tinggal di rumah elo, elo juga selalu nemenin kami. Gue bener-bener thanks banget sama elo. Tapi gue minta
maaf, karena ternyata gue hanya bisa tinggal selama seminggu di sini.” Lanjut
Nino.
Zia mengangguk. “Sama-sama.” Balas Zia.
Jessi pun bersiap naik ke dalam mobil untuk
pergi dan kembali ke Yogyakarta. Sementara Nino masih ingin mengucapkan
sepatah-dua patah kata pada Zia.
“Gue bener-bener minta maaf, mungkin gue
ngecewain elo. Gue emang cowok yang payah, yang takut dan nurut sama ceweknya. Tapi
asal elo tahu, gue nggak ngeharapin liburan yang kayak gini, yang diatur sama
cewek gue.” Kata Nino. “Gue pengen suatu saat nanti, gue bener-bener ngehabisin
waktu cuma sama elo aja. Gue janji, nanti gue bakalan datang sendiri.”
Lanjutnya.
“Elo nggak usah janji, pikirin aja cewek elo
itu.” Kata Zia. “Dan mendingan elo pergi sekarang, kasian tuh cewek elo nunggu
kelamaan.” Lanjutnya dengan agak berat hati.
“Sampai nanti…!!!” Ucap Nino, sebelum ia naik
ke dalam mobil.
Nino pun melngkahkan kakinya menuju mobil.
Dan kemudian, mobilnyapun melaju meninggalkan halaman rumah Zia.
Entah kapan lagi Zia akan bertemu dengan
Nino, hanya waktu yang akan menjawabnya. Tetapi Zia berharap, kelak Nino hanya akan
datang sendiri.
-sampai
di sini-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar