Sabtu, 26 November 2011

Rasa yang Terpendam


Oleh : Resha T. Novia
            
            Rasa yang terpendam memang nggak ngenakin hati, apalagi saat melihat orang yang kita suka bareng sama pacarnya or temen deketnya or gebetannya. Cuma bikin cemburu, gondok and dongkol, tapi tetep aja nggak bisa berbuat apa-apa. Nah rasa inilah yang selalu terjadi pada cewek kuliahan semester 3, yang bernama Giza.
            Udah lama banget Giza suka sama temen sekelasnya yang bernama Juniar, tepatnya semenjak masuk kuliahan. Padahal Juniar itu nggak terlalu cakep, stylenya juga biasa aja, beda sama cowok-cowok zaman sekarang yang gaul abizzzz… Malah, justru itu yang Giza suka dari cowok yang hobi banget pake celana gunung itu.
            Di mata Giza, Juniar itu tipe cowok idamannya banget dweh! Soalnya, selain cuek, Juniar itu jarang ngomong dan selalu bikin Giza penasaran. Tapi meskipun gitu, dia orang yang baik banget. Contohnya aja kalo ada temen yang minta tolong, dia pasti nolong. Giza juga pernah Juniar tolong, bahkan Giza sering banget ditolong sama Juniar.
***
            “Za, kita pulang duluan ya!” Kata teman-temannya.
            “Iya, sok aja!” Balasnya seraya menebarkan senyum.
            Giza mambereskan ruangan yang baru dipakai rapat oleh anggota BEM, karena Giza tipe orang yang nggak suka lihat sesuatu berantakan.
            “Belum pulang, Za?” Tanya Juniar yang ternyata belum pulang juga.
            “Eh…” Giza terkejut. “Iya, belum.” Jawabnya kemudian, seraya membereskan meja yang terdapat beberapa gelas.
            “Oh !!” Ucap Juniar, dingin. Dan langsung keluar dari ruangan itu setelah mengambil tasnya dan jaketnya.
            Giza terus membereskan ruangan itu, hingga tak ada sampah dan tak ada barang yang tersimpan di sembarang tempat. Ia selalu merasa senang setiap selesai membersihkan dan membereskan ruangan, meski ia tahu ruangan itu pasti akan kembali berantakan setelah teman-teman anggota BEM-nya kembali kumpul di ruang itu. 
            Giza bersiap-siap untuk pulang, ia mengunci ruangan itu, dan kemudian menitipkannya ke Bang Supri, penjaga kampus.
            Giza tak sadar saat ia melihat jam tangannya, ternyata sudah menunjukan pukul tujuh malam. Ia bingung karena ia tak tahu harus dengan cara apa ia pulang, karena jika lewat dari magrib angkutan di sekitar kampus sudah tak ada. Maklum, ia kuliah bukan di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Semarang or kota-kota besar yang lainnya. Ia kuliah di kota kecil yang tidak terlalu terkenal, kota kelahiran neneknya.
            “Wah, parah!! Harus jalan kaki nih kayaknya. Huufffdddttt….” Ucap Giza. Ia pun mulai berjalan sebelum hari semakin gelap. Padahal jarak dari kampus ke rumahnya cukup jauh, 7 km.
            “Ckkiiiitttt….” Suara motor mengerem di samping Giza, sontak membuat Giza terkejut dan sedikit takut.
            “Nih !!” Seseorang memberikan sebuah helm pada Giza.
Giza masih diam, ia penasaran sosok yang ada di balik helm dan yang member ia helm. Karena suasana cukup gelap, hanya ada sebuah lampu di jalan. Itupun tak begitu menerangi jalan.
“Ayo pake !!” Ucap orang itu yang kemudian membuka helmnya. “Mau pulang kan?” Tanyanya lagi yang setelah membuka helmnya, ternyata itu Juniar.
Giza tersenyum, ia langsung memakai helmnya dan naik ke atas motor Juniar. Ia merasa sangat senang saat itu, karena Juniar bak penolong baginya saat ia membutuhkan pertolongan.
“Kamu kenapa belum pulang? Bukannya tadi kamu udah pulang?” Tanya Giza saat di motor, suaranya sedikit tersapu angin. Tapi masih terdengar oleh Juniar.
“Siapa bilang udah pulang?” Tanya balik Juniar. Giza terdiam. “Dari tadi juga cuma diem di parkiran kok !!” Lanjut Juniar, menjawab pertanyaan Giza.
“Ngapain?” Tanya Giza lagi, penasaran.
“Nunggu cewek yang beres-beres.” Jawab Juniar, dingin. “Nggak mungkin juga kan cewek itu pulang jalan kaki, gara-gara nggak ada angkutan dan kendaraan buat dia pulang. Dan sementara nggak etis aja kalo aku pulang gitu aja, ninggalin seorang cewek di tempat sepi sendirian.” Lanjutnya.
Giza tersenyum saat ia menyadri bahwa yang dimaksud Juniar adalah dirinya. Dan tak terasa rumah Giza pun sudah terlihat di depan mata.
“Thanks ya…” Ucap Giza, seraya membuka helmnya.
Juniar mengangguk. “Lain kali harus tahu waktu, cewek itu nggak baik pulang malem-malem.” Ucap Juniar kemudian.
Giza mengangguk, ia malu tapi sekaligus senang.
Juniar berpamitan dan Giza pun masuk ke dalam rumahnya.
***
            Tiba di kampus, hati Giza tiba-tiba berubah menjadi terasa sakit. Tentu saja, karena ia melihat Juniar sedang berduaan di taman dengan Alena, cewek yang lagi deket sama Juniar.
            Meski ia merasa cemburu, gondok dan dongkol, ia selalu berusaha agar rasanya itu nggak pernah terbaca sama orang lain. Hufffdddttt… emang susah ngelakuin hal kayak gitu. Tapi apa boleh buat, Giza tak mau orang lain mengetahuinya, ini rahasia hatinya.
            “Za, rencana dari rapat kemarin mau ikut kan?” Tanya Mega, teman seorganisasi.
            “Mendaki gunung ya?” Tanya Giza. “Nggak tahu deh, masalahnya lagi nggak enak badan gitu.” Lanjut Giza.
            “Yahhh… masa kamu nggak ikut?” Tanya Mega lagi, sedikit kecewa pada Giza. “Padahal kan samua anggota BEM pada ikut. Huffftttddd…” Lanjut Mega.
            Sebenarnya Giza hanya membuat-buat alasan agar dia nggak ikut mendaki gunung besok lusa. Awalnya sih dia mau ikut, tapi pikirannya berubah setelah melihat Juniar yang berduaan dengan Alena. Pikiran Giza emang aneh, bisa berubah dengan begitu cepat.
***
            Hari untuk mendaki gunung tiba, Giza hanya membantu teman-temannya untuk menyiapkan berbagai keperluan yang dibutuhkan sebelum mereka berangkat.
            “Kenapa nggak ikut?” Tanya Juniar tiba-tiba.
            “Mmmm… lagi nggak enak badan aja, jadi lako ikut takut malah ngerepotin temen-temen.” Jawab Giza, sedikit gugup.
            “Oh… Cepet sembuh aja ya !!” Kata Juniar, jelas membuat hati Giza jadi deg-degan.
            Giza mengangguk. “Kamu juga hati-hati ya, aku titip temen-temen yang lain sama kamu.” Ucap Giza.
            Juniar mengangguk.
            Setelah semuanya selesai disiapkan, merekapun siap berangkat, kecuali Giza.
            “Hati-hati ya temen-temen !!” Ucap Giza saat teman-temanya berangkat.
***
            Tiga hari sudah Giza tak mendapat kabar dari teman-temannya, semenjak mereka berangkat untuk mendaki. Tetapi Giza selalu bedoa agar semuanya selalu baik-baik saja.
            Tiba-tiba handphone Giza berbunyi, saat ia sedang memikirkan teman-temannya.
            “Za, kita udah turun, tapi Juniar masuk Rumah Sakit.” Ucap Mega, di balik telepon. Sontak membuat Giza terkejut dan panik.
            “Emangnya Juniar kenapa?” Tanya Giza, begitu panik.
            “Dia jatuh, gara-gara nolongin kita yang hampir tertimpa pohon tumbang.” Jawab Mega, terdengar sekali kalau Mega sedang menangis.
            Tanpa berdiam lama, Giza langsung berangkat ke Rumah Sakit untuk melihat keadaan Juniar.
            Kaki Giza terasa sangat lemas saat melihat Juniar terbaring lemah di Rumah Sakit, tapi di hadapan teman-temannya ia selalu menunjukan bahwa ia tak apa-apa.
            Setelah kejadian itu, Giza selalu menyempatkan waktunya untuk menjenguk Juniar di Rumah Sakit. Ia sangat senang melihat kondisi Juniar yang dari hari ke hari semakin membaik. Dan kali ini pun ia berniat untuk menjenguk Juniar, kebetulan Juniar akan pulang dari Rumah Sakit.
            Saat tiba di Rumah Sakit dan Giza hendak masuk ke dalam kamar Juniar, terdengar suara seorang cewek yang sudah tak asing lagi di telinganya. Alena. Ya, cewek yang lagi dekat dengan Juniar.
            Giza mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam kamar Juniar, ia meletakan buah-buahan yang dibawanya untuk Juniar di depan pintu kamar. Dan Giza pulang begitu saja.
***
            Juniar telah benar-benar sembuh, dan ia sudah kembali beraktifitas seperti biasanya. Yang berbeda, kini di sisi Juniar selalu ada Alena. Dari gossip yang tengah beredar, Juniar dan Alena jadian setelah Juniar pulang dari Rumah Sakit.
            Dengan begitu, Juniar tak pernah menyadari dengan apa yang telah Giza lakukan, perhatian Giza padanya selama ini hanya ia anggap sebagai perhatian seorang sahabat pada dirinya. Padahal semua itu salah. Perhatian Giza selama ini adalah perhatian seorang cewek pada cowok yang ia suka.
            Giza kini benar-benar tak bisa berharap lagi. Rasanya kini hanya bisa tersimpan dalam hati, sebagai kenangan yang mungkin tak dapat terlupakan. Nasib yang malang…  Tetapi Giza tetap sabar dan positive thinking, ia yakin bahwa suatu saat nanti ia akan mendapatkan yang terbaik. Semoga…!!!

Tamat wehhh…. *_*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar