Minggu, 02 Oktober 2011

Menggapai Mentari Esok

Oleh : Resha T. Novia

            Memahami makna kehidupan tak semudah membalikan kedua telapak tangan. Tetapi bersyukur untuk semua yang telah Tuhan beri untuk kehidupan kita, itu sangat penting. Karena hidup hanya sekali, tak akan pernah ada kesempatan kedua. Kecuali di akhirat kelak.
            Ya, bersyukur memang mudah untuk di ucapkan, tapi untuk dilaksanakan dan di terapkan dalam kehidupan sehari-hari sangatlah susah. Begitu pula yang dirasakan oleh Jaya, seorang advokat ternama. Dulu ia begitu susah untuk bersyukur, bahkan mengucapkannya saja begitu susah baginya. Tetapi satelah mengalami fase-fase dalam kehidupan, kini ia menjadi orang yang selalu bersyukur dengan segala yang Tuhan beri untuknya.
            Awal ceritanya, ia merasa sangat malu terhadap dirinya sendiri dan merasa minder pada semua orang. Itu semua di akibatkan ia mempunyai kekurangan, ia hanya mempunyai satu kaki, yang sebelahnya lagi hanyalah kaki palsu. Saat itu ia selalu menyalahkan Tuhan yang telah menciptakannya dengan kekurangan.
            “Tuhan nggak sayang sama Jaya!!” Ucap Jaya.
            “Kamu jangan bicara seperti itu, nak!! Tuhan sangat menyayangimu…” Kata Ibunya.
            “Kalo Tuhan sayang sama Jaya, Jaya nggak bakalan cacat, Jaya pasti punya kaki.” Suara Jaya makin meninggi, ia tak menerima dengan kondisinya yang seperti itu. “Jaya kan pengen jadi polisi.” Lanjutnya, matanya mulai berkaca-kaca.
            Ibu Jaya hanya menangis mendengar perkataan anaknya. Beliau tak tahu lagi harus memberikan pengertian seperti apa. Sejak kecil Jaya selalu mempertanyakan hal yang sama.
            “Jaya pengen kayak orang lain.” Ucap Jaya lagi, terus menangis.
            Ibu Jaya hanya bisa mendekap anaknya dalam pelukan. Beliau pun tak kuasa menahan tangis dan beban ini. Di tambah lagi, suaminya yang meninggalkannya begitu saja setelah Jaya lahir dengan anggota badan yang tak lengkap. Tepatnya tujuh tahun yang lalu.
***
            Di usia Jaya yang ke-17, Jaya masih belum bisa menerima kondisinya. Bahkan ia malah menjadi seorang anak yang tak punya rasa percaya diri. Ia selalu memandang bahwa hanya dirinya yang tak seberuntung yang lainnya.
            Suatu ketika, Jaya mulai mengenal jatuh cinta. Tetapi sayang, orang yang yang ia suka menolaknya mentah-mentah. Dan lagi-lagi Jaya menganggap bahwa hidupnya sangat tak berguna.
            “Udahlah, cewek itu masih banyak. Aku yakin, kamu pasti bisa dapetin cewek yang 100 kali lipat lebih baik dari dia.” Kata Sandy, sahabat Jaya dari sejak kecil.
            “Tapi nggak akan ada satupun cewek yang mau deket sama aku.” Ucap Jaya, putus asa.
            “Sebenarnya kamu itu lebih beruntung dari pada aku. Tapi kamu nggak pernah sadar sama kelebihan kamu.” Kata Sandy. Jaya hanya diam, tak mengerti. Karena Jaya tak tahu apa kelebihannya yang di maksud oleh Sandy.
            Sampai lulus SMA, Jaya tak pernah melirik wanita lagi. Ia mulai menerima semua takdir yang Tuhan berikan padanya. Nasihat Ibunya dan sahabatnya yang bernama Sandy mulai ia turuti. Dan dalam hidupnya kini yang paling berharga hanyalah Ibu dan sahabatnya itu.
            “Jadinya kamu kuliah di mana?” Tanya Sandy, saat mereka lulus SMA.
            “Belum tahu, tapi yang jelas aku mau nyoba dulu tes ke PTN.” Jawab Jaya.
            Sandy tersenyum. “Baguslah.” Ucap Sandy. “Tapi itu kemauan kamu kan?” Tanya Sandy.
            Jaya mengangguk. “Aku udah sadar, kalo aku nggak mungkin jadi polisi. Mangkanya pilihan ini aku ambil.” Jawab Jaya, terlihat begitu tegar dan mulai bisa menerima apa adanya.
            “Aku dukung kamu, kamu pasti bisa!!” Ucap Sandy.
            “Eh, kalo kamu mau lanjutin ke mana?” Tanya Jaya.
            Sandy menggeleng. “Aku mau istirahat.” Jawab Sandy.
            Jaya merasakan sesuatu yang aneh pada diri Sandy. Padahal selama ini yang Jaya tahu, semangat Sandy begitu menggebu-gebu untuk kuliah. Tapi entah kenapa, dengan tiba-tiba Sandy mengurungkan niatnya untuk kuliah. Sandy tak member tahu alasannya pada Jaya.
***
            Jaya lulus di sebuah PTN di kota Bandung. Tetapi saat itu pula Jaya harus bisa menerima perpisahan dengan sahabatnya yang pindah ke kota Jakarta. Semua kabar itu ia terima bersamaan. Ia begitu bahagia bisa lulus di sebuah PTN, tapi di sisi lainnya ia merasa sedih karena akan berpisah dengan sahabat yang selalu memberikannya dukungan dan dorongan dalam hidupnya. Ya, karena Sandy adalah orang ke dua yang paling penting dalam hidupnya setelah Ibu.
            Dan hari-hari baru Jaya lalui dengan stamina baru. Ia tak pernah lagi memikirkan kekurangannya. Yang ia pikirkan kini hanyalah cara untuk membahagiakan dan membanggakan Ibunya, juga sahabatnya. Ia tak lagi seperti Jaya yang dulu, Jaya yang tak pernah bersyukur, Jaya yang tak pernah percaya diri, Jaya yang selalu menganggap hanya dirinya orang yang tak beruntung di dunia ini.
            Di tahun pertama, Jaya mulai bisa beradaptasi dengan dunia kampus, dunia yang berbeda dengan dari yang sebelumnya. Dan di tahun pertama itu, Jaya di percaya menjadi ketua kelas. Di mulai dari hal yang terkecil, untuk mencapai ke yang lebih maksimal. Itulah prinsip dalam hidupnya kini.
            Tetapi, di tahun pertama pula, sebuah kabar buruk datang padanya. Sahabatnya, Sandy, meninggal dunia karena kanker hati. Penyakit yang selalu Sandy rahasiakan di hadapan Jaya. Perasaan kehilangan sangat Jaya rasakan. Ia sangat menyayangkan kenapa selama ini ia tak pernah tahu dengan penyakit sahabatnya. Mungkin inilah penyebab Sandy mengurungkan niatnya untuk kuliah. Karena itulah, di hadapan batu nisan Sandy, Jaya berjanji tak akan menyia-nyiakan kuliahnya. Dan ia berjanji akan selalu berjuang untuk mendapatkan keberhasilan demi Sandy.
            Di tahun selanjutnya, tahun ke dua kuliah, Jaya mulai masuk sebagai anggota senat fakultas. Ia di percaya untuk memegang sebuah kepala bidang dalam senat.
            Dengan kerja keras, ketekunan, dan kemauan yang keras, di tahun ke tiga Jaya kuliah, ia dicalonkan untuk menjadi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa. Dan tidak di sangka, ia terpilih. Ia begitu bersyukur karena ia dapat di percaya oleh rekan-rekannya, bahkan dosen-dosennya.
            Dan di tahun ke empat, saat ia lulus kuliah dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum, ia mendapatkan nilai yang terbaik. Nilai yang terbaik tak hanya di peroleh saat itu, tetapi di tahun-tahun sebelumnyapun ia selalu mendapatkan nilai yang terbaik.
            Setelah mendapat gelar yang ia perjuangkan selama empat tahun, ia melanjutkannya dengan study untuk dapat menjadi seorang advokat. Dan barulah setelah ia lulus dari study itu, ia bisa benar-benar menjadi seorang advokat.
***
            Jaya membuka sebuah kantor advokat. Saat itu Jaya sangat berharap bisa sukses sebagai advokat. Dan tak di sangka-sangka, impian Jaya selama ini menjadi kenyataan. Ia menjadi seorang advokat yang professional. Banyak orang-orang penting yang mengandalkannya dan percaya dengan kemampuannya. Itulah modal penting bagi Jaya.
            Hidup Jaya memang seperti mimpi, tapi itulah yang dirasakan Jaya setelah berjuang melawan hidup yang tak pernah berhenti dari cobaan. Dan hidup Jaya menjadi lebih berarti setelah ia menyadari makna hidup yang sebenarnya.
            Jaya tak pernah lagi melihat hidupnya yang lalu-lalu. Yang ia pikirkan kini hanyalah bagaimana cara untuk menggapai mentari esok dalam kehidupan nyata yang ia jalani. Dan semua itu ia persembahkan untuk Ibu dan sahabatnya.
            Sebuah kesuksesan yang di awali dengan kemauan, serta dorongan dari orang terdekat menjadi kunci utama bagi hidup Jaya.
            Dan semangat Jaya untuk membahagiakan orang di sekelilingnya akan tetap jaya sampai kapanpun…

The end…





 ***Cerpen ini masuk dalam buku 5 antologi "Be Strong, Indonesia !" yang diterbitin NulisBuku.com*** 
yang kafernya ini nihhh...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar