Minggu, 18 September 2011

"Inikah Penyesalan?"

Oleh : Resha T. Novia


Suara tangisan bayi memenuhi sebuah kontrakan dengan ruangan kecil yang hanya berukuran 5 x 6 meter persegi. Aku hanya bisa berdiam diri dan menutup telinga di sebuah sudut, tanpa mau berbuat apa-apa. Aku seolah menaruh dendam dan kebencian pada bayi kecil itu, yang kuberi nama Devina. Aku memang salah, tidak seharusnya aku membenci Devina, bayi yang kulahirkan dari rahimku. Ya, karena seharusnya aku hanya membenci Andre, ayah dari bayi itu yang telah membuatku hamil dan melahirkan Devina. Andre pulalah yang membuatku pergi dari rumah dan meninggalkan keluargaku.

Kini, sudah satu tahun aku meninggalkan rumah. Awalnya aku hidup bersama Andre. Begitu bahagianya saat itu, karena aku bisa merasakan kebebasan. Ya, kebebasan yang benar-benar bebas. Tapi kebahagiaan itu berubah seketika saat Andre tahu bahwa aku hamil olehnya, ia tak mau bertanggunga jawab pada janin yang ada dalam rahimku. Bahkan ia tak mau mengakuinya, malah menuduhku selingkuh dan tidur dengan laki-laki lain. Jika aku tahu akhitnya akan seperti ini, aku tak akan mau meninggalkan rumah dan menentang perjodohan yang telah orang tuaku rencanakan.

Cinta itu buta, mungkin itulah yang kurasakan pada Andre. Tak berpikir dengan akal sehat, bahwa orang tuaku telah memilihkan jodoh yang terbaik untukku.

“Aku gak mau dijodohin, Mah, Pah… Aku mencintai Andre…” Bantahku satu tahun yang lalu setelah tahu bahwa aku telah dijodohkan dengan Fariz, anak rekan bisnis Papah.

“Latar belakang Andre itu gak jelas, dia juga terlalu urakan untuk menjadi seorang suami.” Pekik Papah.

Tak ada yang membelaku saat itu, aku hanya bisa meneteskan air mata. Dan masih di hari itu, malamnya pun aku memutuskan untuk kabur dari rumah, Andrelah yang menjemputku saat itu. Bahkan ia pula yang memaksaku kabur dari rumah.

“Inikah yang disebut penyesalah?” Bathinku bergejolak. Sementara tangis Devina semakin keras, membuatku ingat pada kebencianku terhadap Andre.

Andai saja saat itu aku tak pernah kabur dari rumah, andai saja aku mau menerima perjodohan itu. Hidupku kini mungkin tak akan seperti ini, tenggelam dalam penderitaan yang aku tak tahu kapan berakhirnya. Ahhhhh….semuanya sudah terlambat!!!

Pikiranku semakin kalut, tak ingin lagi ku mendengar suara tangisan Devina yang tak juga berhenti. Kakiku pun mulai kulangkahkan keluar dari ruang kecil itu yang ku kontrak selama ini. Aku meninggalkan Devina di sana.

Jauh, jauh, dan semakin jauhlah suara tangisan Devina, hingga tak lagi ku dengar. Dan kini, hanyalah suara lalu-lalang kendaraan yang memenuhi pendengaranku. Aku berjalan lurus mengikuti asa dalam pikiran buntuku, tanpa menghiraukan semua suara yang memanggil-manggilku. Dan “Brukkkk….” Semuanya pun berubah menjadi hitam, hanya suara orang-orang yang kudengar, disusul dengan suara ambulans yang suaranya seakan makin menjauh. Tak ada lagi yang kudengar, tak ada lagi yang kurasakan. Hingga akhirnya, semua menghilang…

_selesai_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar